SEBUAH LUKA


 SEBUAH LUKA

Penulis : Lidwina Ro

“Dingin sekali di sini. Salju mulai turun. Sebelum tidur, katakan kalau kau baik-baik saja.”

Jemari Arumi membeku ketika membaca pesan yang baru masuk itu. Mencoba mencerna hati-hati, apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata tersebut. Seperti biasa, lelaki itu selalu mengatakan kalimat yang sederhana tetapi dalam maknanya. Bolehkah dirinya menjawab jujur, bahwa semua sedikit berantakan ketika perpisahan terjadi?

“Rum, ada Deni di depan.”

Tiba-tiba Tante Ami membuka pintu kamar Arumi.

“Apa? Hujan-hujan begini?” Arumi terkejut.

“Makanya itu Tante suruh masuk. Pinjami handuk, sana.”

Arumi melesat ke ruang tamu setelah menyambar handuk bersih.

Benar saja, Deni tengah duduk sambil mengibaskan rambutnya yang setengah basah. Lelaki itu mengucap terima kasih saat Arumi mengulurkan handuk. Sementara Arumi menerka-nerka mengapa Deni senekat ini. Bagaimana kalau sakit flu nanti?

“Sudah, aku gak apa-apa, ini cuma hujan. Aku baru saja mengantar Raisa beli buku. Mampir sebentar boleh, kan?”

Deni cengengesan. Arumi melengos. Memaki dalam hati, mengapa Deni seolah tahu apa pikirannya? Dasar paranormal abal-abal. Menyebalkan!

Baru saja Arumi akan menawarkan kopi, suara Tante Ami kembali mengejutkannya.

“Arumi, ada telepon dari Sydney.”

Arumi menggigit bibirnya. Matanya melirik Deni yang masih sibuk mengelap tubuhnya yang basah.

“Terima saja teleponnya Bima,” ujar Deni dengan nada rendah, tanpa menoleh.

Arumi pun berdiri, meninggalkan Deni tanpa kata. Tante Ami lalu ke dapur, menyuruh Mbok Nah membuat minuman hangat.

Arumi menggenggam ganggang telepon dengan canggung.

“Arumi? Halo?”

“Iya.”

“Apa kau baik-baik saja?”

“Aku baik.”

“Syukurlah. Kau makin lama makin menghilang. Jarang membalas chat. Kuliahmu bagaimana?”

“Baik.”

“Apa yang aku lewatkan selagi aku tak ada?”

“Kau seperti polisi,” gumam Arumi lembut.

“Akan kuhajar nanti kalau ada yang mendekatimu.” Ada tawa berderai di ujung telepon sana.

“Sudahlah, Bim. Aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik.”

“Kau memang bisa menjaga diri, tapi orang lain bisa saja, kan, yang lupa diri.” Suara Bima terdengar tegas, seolah bisa mengendus sesuatu yang tidak pernah keluar dari mulut Arumi.

Arumi tersenyum. Setiap orang yang terluka memang selalu punya respons hati yang salah. Jika tidak berhati-hati dan segera menanganinya, luka itu malah bisa menghancurkan impian. Seharusnya Bima, dan juga dirinya sudah waktunya bersama-sama berbenah diri.


Cikarang, 090223

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU