SANG WAKTU
SANG WAKTU
Penulis : Lidwina Ro
Tahu petis yang tersaji panas di atas tikar belum lah habis, saat mataku menatap sebuah keluarga kecil tak jauh dariku yang sedang lesehan. Mereka duduk di tikar yang lain. Tepat berada di sebelah kananku. Sang ibu tampak memangku anak perempuannya. Sedang ayahnya menuntun anak lelakinya yang baru bisa berjalan di pinggir rerumputan alun-alun. Sang kakak bertepuk tangan menyemangati langkah adiknya yang terseok-seok. Dan si adik membalas dengan tawa riang di antara liurnya yang menetes. Ah, lucu sekali. Semua tertawa dengan riang. Wah, keluarga yang bahagia. Sebenarnya untuk bahagia tidaklah susah, bukan?
Pemandangan itu lantas mengembalikan ingatanku pada tahun-tahun lama. Tahun yang dulu pernah aku alami juga. Kehangatan suasana kebersamaan dan tawa anak-anakku yang dulu, kini amat sangat kurindukan.
Dulu aku harus memutuskan untuk tidak bekerja lagi karena harus mengasuh anak-anak di rumah. Setiap hari mengurus keperluan seluruh rumah tangga dan merawat mereka. Dari pagi hingga malam, aku lah yang paling banyak menjaga gawang rumah. Menjadi ojek sekolah anak-anak. Bahkan menjadi guru les dadakan anak-anak di malam hari. Nyaris tidak ada waktu bagi diriku sendiri. Semua aku lakukan dari hari ke hari tanpa lelah.
Ah, betapa cepatnya waktu berlalu. Tiba-tiba aku rindu ketika anak-anak masih kecil. Sepertinya baru kemarin pagi aku menyiapkan bekal makanan sekolah, dan meninggalkan mereka di depan gerbang sekolah. Sepertinya baru kemarin aku ke sekolah mengambil rapor mereka.
“Ayo, pulang, Bu.”
Aku menoleh. Tampak suamiku menyeruput wedang rondenya. Ternyata sepiring tahu petis dan tempe mendoan yang aku pesan sudah ludes. Aku mengangguk, dan tersenyum. Pada akhirnya, hanya aku dan suamiku yang masih bertahan di rumah. Hanya kami berdua.
Alun-alun masih sangat ramai dengan orang-orang yang menghabiskan malam minggunya. Bertolak belakang dengan hatiku yang kian hari kian sepi, karena anak-anak yang semakin besar, dan punya kegiatan serta kehidupan sendiri-sendiri. Akan kah mereka suatu hari akan menyadari dan mengerti, bahwa hati yang tua ini juga bisa merindu.
Cikarang, 230123
Komentar
Posting Komentar