DOMPET
DOMPET
Penulis : Lidwina Ro
“Bos, dompetnya kosong!” Sambil mengumpat kesal, Aris melempar sebuah dompet kumal ke tong sampah. Sayang lemparannya meleset. Dompet cokelat itu terpental dan jatuh hampir mengenai kakiku.
Aku yang sedang menghitung hasil jerih payah anak buahku, melirik sekilas. Sontak keningku berkerut. Sekelebat ingatanku yang terpenjara pada sesuatu hal, mendadak menyeruak ke permukaan, menghangatkan jiwa.
Bergetar tanganku memungut benda lusuh itu. Keringat dingin muncul saat aku yakin mengenali dompet itu. Mungkin kah pemiliknya sama?
Dengan gemetar aku membuka dompet hati-hati. Seketika mataku menghangat. Sesal dan haru melihat sebuah foto usang yang tak lagi utuh, tersembul di sana. Tidak salah lagi, pemilik dompet ini masih sama!
Mataku masih basah, saat berteriak. “Di mana pemilik dompet ini, Ris?”
“Tadi di sekitar kios gamis. Ada apa, Bos?” Aris balik bertanya sambil mendekat ke arahku dengan ke dua mata berkilat khawatir.
Tangisku semakin tak terbendung, sampai tangan Aris menepuk-nepuk bahuku, mencoba menenangkan. Tanpa pikir panjang lagi, kuselipkan seluruh hasil karya tangan yang berada di tanganku, bahkan aku juga menguras isi dompetku sendiri. Semua aku jejalkan dalam dompet cokelat tua lusuh itu.
“Pergi sekarang juga, Ris! Cepat! Cari pemilik dompet ini, dan berikan padanya.”
“Ada apa, Bos? Siapa ibu-ibu itu?” Aris menggenggam dompet dengan raut wajah kebingungan, tidak paham dengan isi perintahku.
Aku mendelik garang. Dengan sekali tatapan itu, Aris mengangguk cepat dan melesat pergi, tanpa bertanya lagi.
Dari kejauhan aku memperhatikan Aris mencari dengan gesit pemilik dompet, dan dengan cepat menemukan pemilik dompet tersebut.
Wanita tua itu begitu bahagia ketika mendapatkan dompetnya kembali. Berkali-kali membungkuk pada Aris, mengucapkan terima kasih. Aku menyeka kasar pipiku yang makin deras oleh air mata.
Lalu sederet kenangan segera mengikat ingatan. Setangkup rindu pelan tetapi pasti menggoda, untuk kembali pada satu pelukan hangat.
Entah sudah berapa lama aku menindas beringas semua rindu ini. Aku memang mencintainya, tetapi aku tak sudi hidup miskin selamanya. Aku yang tak berpendidikan dan miskin, ternyata lebih mencintai nikmatnya dosa.
Andai saja aku, si pendosa lak nat ini punya sedikit hati, dan sedikit rela merendahkan hati bersimpuh mengeja maaf. Andai saja ...
Ternyata perempuan tua itu masih menyimpan fotoku, walaupun aku tidak pernah pulang kembali pada pelukan hangatnya. Maafkan aku, anakmu, si copet jalanan ini, Ibu. Maafkan!
Cikarang, 080123
Komentar
Posting Komentar