Fatamorgana


 FATAMORGANA

Penulis : Lidwina Ro 


“Hei, anak Ibu sudah ngantuk, ya? ” tanyaku sambil menciumi pipi gembul Aira yang putih. Anak dalam gendonganku itu tersenyum dengan mata separuh terpejam. Di sudut mulutnya mengalir susu formula dari dot yang sedang dihisapnya. Sepertinya Aira sudah kekenyangan, karena itu pelan-pelan melepas dotnya.

Ketika Aira sudah benar-benar lelap, pelan-pelan aku menaruhnya di ranjangku. Begitu menyentuh kasur, anak itu menggeliat, dan langsung membuka matanya, dengan ekspresi mulai menangis. Ah, rupanya Aira tidak mau diletakkan di ranjang. Aku tersenyum, lalu kembali menggendongnya. Tidak butuh waktu terlalu lama, Aira terlelap kembali dalam dekapanku.

Aku tak bisa berhenti menciuminya. Aku sangat mencintainya. Hampir semua yang ada pada Aira adalah duplikat Mas Bayu. Matanya, hidungnya, senyumnya. Apa yang dimiliki Aira mampu mengikis segala kepedihan yang sudah lama menghantuiku. Hanya karena kehadiran anak inilah aku benar-benar hidup sekarang ini. 

Belum puas aku menciumi Aira, aku mendengar pintu gerbang dibuka. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir jam lima sore. Ah, mengapa mereka sudah pulang? Aku menghela napas, semakin mendekap erat Aira. Bau telon yang kubalurkan sehabis mandi tadi, samar-samar menguar, membuat aku gemas, dan bertubi-tubi menciuminya kembali.

“Aira tidur, ya, Mbak Na?”

Aku menoleh pada wanita yang masih memakai seragam kantor itu sambil mengangguk. Akhirnya Dewi datang juga.

Setelah mencuci tangan, Dewi menghampiriku. Dia membungkuk dan mencium Aira. “Hm. Harum sekali. Mbak Na pasti sudah memandikannya.”

“Aira juga sudah aku suapi, Wi.”

“Terima kasih, Mbak. Maaf, aku selalu merepotkan. Besok aku libur, jadi besok Mbak Na bisa beristirahat dulu, tidak usah menjaga Aira. Boleh aku menggendongnya sekarang?”

Sesaat aku tertegun. Sebuah alarm seperti berdering keras di atas kepalaku. Hari Sabtu Minggu Dewi memang libur. Kedua hari itu mengingatkanku kembali siapa aku sebenarnya, dan di mana posisiku sesungguhnya.

Aira langsung menangis saat berpindah gendongan. Dewi segera menenangkan Aira di teras.

Tangisan Aira sesungguhnya seirama dengan tangisanku dalam hati. Tetapi seperti biasa aku tidak punya pilihan, selain diam. Mengunci rapat-rapat mulutku ini.

“Na? Kami pulang dulu, ya?” Mas Bayu menghampiriku, lalu meraih kepalaku, dan mencium kening.

Melihatku diam, Mas Bayu menggenggam jemariku. “Ada apa? Kau tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa,” sahutku lirih. Tidak ada kalimat lain yang nyaris ada di benakku selain itu. Tidak ada apa-apa.

Tidak apa-apa bila Tuhan memang belum mengizinkanku untuk hamil. Urusan keturunan ini bukankah di luar kemampuanku? Hal ini membuatku tertekan, lelah, dan harus menyerah pada keinginan keluarga Mas Bayu, supaya Mas Bayu yang anak tunggal itu, menikah lagi untuk mendapatkan keturunan.

Apa sebenarnya yang tersisa pada wanita mandul sepertiku ini? Tidak apa-apa, biar lah aku menepi untuk maduku, Dewi. Tidak apa-apa kalau cinta Mas Bayu harus terpaksa dibagi. Semua tidak apa-apa, asal aku bisa merasakan sedikit saja, atau paling tidak, membayangkan bagaimana menjadi seorang wanita yang menggendong seorang anak, benih dari lelaki yang aku cintai. Meskipun itu mungkin hanya ... sementara.

Cikarang, 150122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU