DRAMA HIDUP


 DRAMA HIDUP

Penulis : Lidwina Ro


Benar kata orang. Dunia memang sempit. Setelah sekian lama dengan susah payah aku membangun hidupku dengan mengabaikan perasaanku sendiri, mengapa hari ini aku justru merasa akan kembali goyah? 

Dari sekian resto di seluruh penjuru kota, mengapa aku harus bertemu dengan Riko di tempat yang sama? Skenario apa lagi yang akan disodorkan Tuhan untukku? 

“Kau sendirian?” Erik masih menatapku lurus, sementara aku kelimpungan. Sepertinya seluruh kosa kataku lenyap begitu saja, digantikan dengan gelisah yang mulai hinggap.

Sudah lama tidak bertemu dengan Erik. Aku pikir aku akan terbiasa sendiri, mandiri dan melupakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tetapi nyatanya malah terbalik. Aku belum bisa melupakan Erik. Terutama pada semua yang pernah dia lakukan padaku. Erik meninggalkanku. Dulu. Dan lebih memilih mendahulukan permintaan ibunya ketika sakit keras, untuk menikahi wanita pilihan beliau. 

“Akhirnya aku menemukan jejakmu.”

Erik mencariku selama ini? Aku kaget, terdiam. Buat apa dia mencariku? 

“Di mana alamatmu, Nana?”

Dadaku semakin sesak. Mengapa dia ingin tahu? Bukankah cerita cinta mereka sudah tamat? 

“Mah!” 

Aku dan Erik sama-sama terkejut. Kulihat anakku menenteng box bento-nya tinggi-tinggi, sebagai isyarat kalau pesanannya sudah selesai. Dengan gagap aku berdiri. 

“Erika pesan tiga, Mah! Satunya buat Papah.”

Erik dengan sigap ikut berdiri. Wajahnya tegang menatapku. “Siapa dia?” 

Aku gelagapan.

“Anakmu?” desaknya tajam.

Aku mengangguk lemah.

“Erika?” desaknya lagi, lebih tajam.

Sesaat tubuhku membeku dan sedikit gemetar menerima tatapan tajamnya. Erika sudah berdiri di antara kami. Menatap kami bergantian dengan polos. Erik mendekati Erika. Seketika aku menjadi panik.

“Sudah selesai pesannya? Ayok kita pulang.”

“Tunggu, siapa namamu, cantik?”

“Erika, Om.” Mata Erika mengerjap manis.

“Sekolah di mana?” tanya Erik lagi.

“SD Harapan, Om.”

Erik mengusap lembut rambut Erika, lalu menatapku dalam. Entah apa arti tatapan Erik, aku tidak mau menerjemahkannya. 

“Aku akan menemukan kalian, suatu hari.”

Aku tidak merespons bisikan lirih Erik, dan segera menggandeng Erika keluar dari resto. 

“Mamah kenapa sedih? Siapa Om tadi?”

Aku mencoba tersenyum, kukecup pucuk kepala Erika. Masih banyak waktu untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi, Sayang. Suatu hari nanti, kamu akan tahu, pernah ada seorang lelaki dalam kehidupan kita dulu, bernama Erik. Karena dia adalah ... papamu yang sesungguhnya.

Cikarang, 110123

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU