Kekasih Bayangan
KEKASIH BAYANGAN
Penulis : Lidwina Ro
Ini untuk yang ke sekian kalinya aku menolak halus keinginan ibuku untuk menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Ardian memang memenuhi kriteria untuk dijadikan pasangan hidup. Ardian sudah mapan dan termasuk berkepribadian baik. Sebenarnya aku pun juga sudah lama mengenalnya dengan baik. Tetapi entahlah, aku tidak pernah menemukan rasa yang pernah aku rasakan sebelumnya.
Ardian sepertinya juga pantang menyerah. Terkadang aku geram padanya. Dia malah mematuhi perjodohan kuno di antara ibuku dan ibunya. Aneh kan? Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini saja. Mengapa dia malah ikut-ikutan aku menjomlo? Lucu. Sepertinya ada yang ganjil pada lelaki itu.
“Mengapa tidak kau bujuk ibumu untuk membatalkan perjodohan kita, Ar? Aku yakin banyak gadis yang naksir padamu.” Aku mencoba sekali lagi mengubah cara pandangnya.
“Tidak semudah itu,” sahutnya pendek. Tanpa ekspresi.
Aku mengernyit mendengar jawabannya. “Apa kau takut pada ibumu?” korekku hati-hati, yang langsung disambut dengan senyum simpul. Melihat reaksinya aku bertambah geram.
“Seharusnya kamu memperjuangkan kekasihmu. Aku yakin ibumu lama-lama akan luluh pada pilihanmu, Ar.”
Sebentar! Atau, jangan-jangan Ardian tidak punya pacar?
“Mengapa kita tidak coba saja meluluskan harapan orang tua kita?” jawab Ardian enteng.
Aku menatapnya emosi. Tetapi Ardian tak mau kalah, dia malah membalas menatap tajam.
“Ini tidak mungkin berhasil, Ar. Kita memang kenal sejak kecil. Hanya itu yang kita punya, tidak ada yang lain lagi,” keluhku lirih, sedikit putus asa.
“Kemungkinan kita bisa berhasil, karena aku nyata. Setidaknya aku bukan bayangan. Aku bukan seperti kekasihmu Vano.”
Tenggorokanku seperti tercekik. Rasanya ingin menelan Ardian hidup-hidup. Tetapi yang ada malah pipiku perlahan-lahan menjadi basah karena mendengar nama Vano.
Ardian lekas menggenggam jemariku erat. Aku makin terisak.
“Maafkan aku, Ar. Aku masih belum bisa melupakan Vano.”
“Tapi Vano sudah meninggal. Cobalah belajar pelan-pelan menerima kenyataan. Baiklah, dia mungkin masih menjadi bayanganmu, tetapi aku nyata, ada di sampingmu selama kau membutuhkan aku. Kalau kau masih begitu sulit menerima situasinya, aku yang akan tetap mendampingi mu dan membantumu.”
“Mengapa kau mau membantuku, Ar?”
“Karena aku sayang padamu.”
Aku terdiam. Menatap kesungguhan di mata Ardian, lalu hatiku perlahan-lahan mulai menghangat. Entahlah. Biarkan saja waktu yang bicara. Aku bisa apa, selain belajar pada kenyataan yang sudah ada di depan mata. Hanya itu.
Cikarang, 041223
Komentar
Posting Komentar