JIKA CINTA
Penulis : Lidwina Rohani
Sebenarnya aku ragu dengan ide Ratih. Bagaimana mungkin sahabatku itu menyuruh aku untuk berbohong pada Raga, kakaknya? Tujuan sebenarnya, sih, sederhana. Aku hanya akan dijadikan Ratih sebagai tameng, untuk tiketnya keluar malam Minggu dengan Anggara pacar barunya yang tengil tapi ganteng itu.
“Ayolah, Ras, tolong aku sekali lagi,” bujuk Ratih manis sambil memeluk dan menepuk-nepuk lembut bahuku. Aku mendengus sebal.
“Nanti aku traktir bakso seminggu, deh!”
Aku makin mendengus. Ratih selalu punya cara untuk melancarkan rencananya.
“Oke, dua Minggu, Ras! Dua Minggu, aku traktir bakso di kantin sekolah kita.”
Aku mendelik kesal. Selain pintar hampir di semua pelajaran sekolah, Ratih juga cerdik. Dia selalu tahu bagaimana cara mencari jalan keluar. Juga tahu cara melemahkan hati orang.
Tapi siapa yang tidak tahu Raga, kakak Ratih yang galaknya minta ampun itu? Pitbull saja kalah galak. Kalau Raga sampai curiga, matanya yang setajam silet itu akan sanggup mengiris-iris hati sampai menjadi potongan yang terkecil! Ih! Aku bergidik sendiri. Jadi masalah traktiran bakso selama dua Minggu itu, perlahan-lahan seakan menguap sendiri menuju langit.
“Mau, ya, Ras. Tolong bilangin sama Mas Raga, kalau Sabtu ada pelajaran kelompok di rumahmu.”
Aku menghela nafas panjang. “Memangnya kamu mau malam mingguan ke mana dengan gacoanmu yang bertato itu?”
Ratih mengulum senyum. Tak salah lagi. Lagaknya memang seperti orang linglung, karena kasmaran.
Melihat senyum itu, aku merasa akan sia-sia melarang Ratih pergi dengan mahasiswa kedokteran yang tengil itu.
“Tapi, tapi aku takut sama Mas Raga, Tih. Seminggu yang lalu kau suruh aku juga membohonginya.”
Mata Ratih seketika membulat sempurna. “Halah, mengapa takut? Bilang kita mau belajar saja seperti itu, Ras. Tapi bilangnya harus cepat, ya. Jangan kelamaan lihat matanya. Nanti Mas Raga malah curiga kalau lihat ekspresi wajahmu kalau sedang berbohong,” cekikik Ratih.
Hm. Empuk sekali saran Ratih. Apa tidak tahu kalau kakaknya itu seperti detektif yang tidak mudah dibohongi? Kalau berani, mengapa tidak dia saja yang menghadapi kakaknya? Huh!
“Halah, sudah. Jangan banyak berpikir. Mas Raga pasti percaya dengan semua perkataanmu.”
Aku melongo. Menatap Ratih dengan seribu tanya. Mengapa Raga harus percaya padaku? Konyol Ratih!
Kalau saja Ratih bukan sahabatku sejak kecil, pasti aku ogah menjadi tamengnya untuk melakukan hal-hal yang tidak jelas itu. Demi Anggara. Tapi, ah! Siapa yang tidak kepincut dengan Anggara mahasiswa kedokteran yang ganteng itu? Wajar saja Ratih menjadi linglung.
***
( Bersambung )
Cikarang, 230922
Komentar
Posting Komentar