KEBUN SAWO BUDE TINAH
KEBUN SAWO BUDE TINAH (4)
Penulis : Lidwina Rohani
Ketika menunduk aku menangkap ada yang bergerak halus di sekitar mata kaki. Setengah membungkuk aku mencoba mengamati benda panjang lunak yang perlahan-lahan mulai membelit kaki. Ya Tuhan, apa ini? Dari mana datangnya akar seaneh ini? Mengapa akarnya bisa hidup dan bisa melilitku?
Aku mencoba mengentakkan kaki, tetapi akar itu makin membelit. Sebelah kakiku yang cacat tidak mampu menendang atau melarikan diri. Akar yang tidak terlihat jelas itu bahkan menjatuhkan aku di atas tanah. Aku terkejut dan memekik keras kesakitan.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” jeritku ketakutan. Tetapi kebun sawo Bude Tinah terlalu luas. Apa mungkin ada orang yang bisa mendengarku?
Segera aku memegang semak belukar di sekitar, agar bisa bertahan di tempat. Entah dari mana asal akar-akar itu, akan tetapi yang aku takutkan adalah ... akan dibawa ke mana aku? Sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri, menendang dan berteriak, aku mulai menangis ketakutan.
Tiba-tiba akar yang melilit kakiku melonggar. Sambil mengucek mata yang buram oleh air mata, aku melihat Arum membungkuk dengan membawa sebatang tongkat. Rupanya anak kecil itu sedang memukuli akar-akar hidup itu dengan tongkat. Aneh sekali, akar-akar itu bisa mundur ketakutan ketika dipukuli Arum. Buru-buru aku duduk dan meraba kedua kakiku. Untunglah masih utuh! Hanya sedikit perih.
“Kamu sudah menyelamatkan aku, Arum. Terima kasih,” bisikku lega di sela sisa isak tangis.
“Mbak Titi tidak apa-apa?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Spontan memeluk anak kecil itu dengan erat sebagai tanda terima kasih. Tubuh Arum lebih dingin dari tubuhku yang kaku ketakutan. Kami berdua menggigil.
“Ayo, aku antar Mbak Titi pulang.”
“Apa?” tanyaku heran sambil menatap lurus pada matanya yang sendu.
“Aku tidak apa-apa, Mbak. Sekarang Mbak Titi pulang saja, dan jangan pernah kesini lagi.”
“Mengapa, Rum?”
“Terima kasih Mbak Titi sudah menyayangiku, tetapi Mbak Titi harus pulang sekarang.”
“Tapi, tapi Rum ....”
“Selamat tinggal, Mbak Titi.” Arum menyentuh tanganku seolah ingin menenangkanku. Sentuhan tangan yang sangat halus, aku nyaris tidak merasakan apa-apa.
Baru saja aku akan bertanya mengapa dia tadi menangis, saat sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggil-manggil namaku. Aku menoleh ke belakang. Tampak Bude Tinah tergopoh-gopoh menghampiriku dengan senter besar di tangan. Di belakang Bude Tinah ada beberapa warga desa yang mengikuti.
Komentar
Posting Komentar