KEBUN SAWO BUDE TINAH
KEBUN SAWO BUDE TINAH (5)
Penulis : Lidwina Rohani
“Ya Tuhan, Nastiti! Apa kau baik-baik, Nak?”
Dengan satu rengkuhan, tubuhku sudah berada di dalam pelukan wanita gemuk itu. Agak sesak, dan aku sulit bernapas, akan tetapi aku senang dan lega karena Bude Tinah menemukanku.
“Apa yang terjadi, Ti? Perasaan Bude tadi tidak enak, lalu menyusulmu. Bude lihat belanjaan dan payung pelangimu tergeletak di depan kebun sawo. Mau apa kamu malam-malam masuk ke kebun sawo?”
“Sebenarnya Titi tadi hanya ingin melihat Arum sebentar. Kata Pak Jo, rumahnya dekat. Jadi aku pergi ke rumah Arum, tetapi tiba-tiba aku tidak bisa berjalan. Lalu ... lalu Arum datang menolongku.” Mataku berkeliling, mencari sosok Arum. Loh? Ke mana Arum? Ke mana anak kecil itu? Aku bahkan belum sempat menanyakan mengapa dia menangis tadi. Duh!
Mata Bude sontak membelalak. Bola matanya nyaris keluar saat aku menyebut nama Arum dan Pak Jo.
“Pak Jo? A-Arum? Bagaimana kamu mengenal mereka, Ti? Duh, Gusti ....”
Dengan sigap Bude Tinah bergegas menggiringku keluar dari kebun sawonya yang luas diikuti warga desa lainnya yang saling berbisik. Ada apa sebenarnya? Ah, hari ini aku begitu lelah dan bingung.
***
Siang begitu terik. Matahari bersinar dengan garang. Aku tertatih melangkah pulang. Tanganku mencengkeram erat tas ransel sekolah ketika melewati kebun sawo Bu Tinah.
Tidak ada yang berubah dari kebun sawo itu. Pohonnya masih berjajar rapi. Beberapa burung berkicau riang, sesekali melintas terbang di antara lebatnya daun sawo.
Tetapi mengapa, ya, telingaku kadang-kadang masih ingin mendengar suara roda gerobak sate Pak Jo? Aku bahkan masih berharap mendengar langkah kaki kecil Arum di sisi gerobak sate itu. Atau sekedar mendengar suara Arum lagi.
Tetapi nihil. Arum atau Pak Jo sekarang tidak pernah muncul kembali. Kata Bude Tinah kemarin, Arum adalah cucu Bude Tinah yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit keras, dan dimakamkan di pemakaman desa yang kebetulan berada di belakang kebun sawo Bu Tinah. Sedangkan Pak Jo adalah suami Bude Tinah yang juga sudah meninggal lama. Pantas saja mereka selalu bersama-sama walaupun sudah di alam lain.
Sekali lagi aku menatap kebun sawo Bude Tinah. Semilir angin menerpa wajah, seolah mengingatkan aku untuk segera pulang. Berat aku melanjutkan langkah. Selamat tinggal, Arum. Di mana pun kamu berada, jaga dirimu baik-baik, ya.
(Selesai)
Komentar
Posting Komentar