AKU DAN TIARA (3)
AKU DAN TIARA (3)
Penulis : Lidwina Ro
“Apa Mbak Menik nanti balik lagi ke sini?”
Aku mengangguk samar penuh ragu. Tidak bisa bercerita lebih lanjut, karena aku baru saja mendapat kabar mendadak, kalau ibuku jatuh sakit. Tidak ada yang merawat ibuku sementara ini, karena hanya aku satu-satunya seseorang yang dimiliki ibuku.
“Nanti kan ada Pak Mo yang akan mengantar dan menjemput Non Tiara. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja, Non.”
“Tapi, tapi Mbak Menik janji dulu, akan pulang ke sini lagi!”
Aku hanya menatap sepasang mata yang berkilat-kilat penuh kecemasan itu. Pada sepasang mata yang memantulkan rasa gelisah yang teramat dalam itu, aku bisa merasakan dengan tepat bagaimana memaknai arti kesepian dan arti kepahitan. Tapi aku bisa apa?
***
Tiara, anak kecil kelas dua SD itu langsung menghambur padaku seusai turun dari mobil. Di belakangnya, Pak Mo menjinjing tas sekolah Tiara lalu membawa tas itu masuk ke dalam rumah. Masih dengan seragam lengkap, Tiara menarik tanganku.
“Janji, ya, Mbak Menik pulang lagi ke sini! Jangan tinggalkan Tiara, Mbak. Nanti Tiara ditemani siapa? Tiara takut ....”
Kutelan ludah dengan susah payah sambil mengelus pucuk kepala anak itu. Sedapat mungkin menahan kristal bening yang sudah sepakat berkumpul di sudut mata. Aku berjongkok. Tiara makin memeluk tubuhku dengan erat. Aku yakin, aku pernah mengalami perasaan hancur dan terluka seperti yang dialami Tiara sekarang ini. Sebab bapakku dulu awalnya juga seperti Pak Arya.
Mendapat perlawanan dan serangan sengit dari ibuku, ketika bapak meminta ijin untuk menikah lagi. Kalau bapakku yang miskin saja nekat meninggalkan ibuku, bagaimana dengan Pak Arya yang bergelimang harta?
“Ayo, Nik, menunggu apa lagi?” tanya Pak Mo dengan suara serak. Mata tuanya sayu menatap kami berdua. Lelaki tua itu sudah siap di belakang setir mobil, yang akan mengantar aku menuju terminal.
“Tunggu sebentar lagi, Pakne. Biarkan Non Tiara berbicara dulu.” Mbok Mo yang berdiri tak jauh dari pintu utama, menyahut lirih.
“Ada Mbok Mo yang akan menemani Non Tiara. Jadi tidak usah takut, ya?”
Anak itu tersenyum sumbang.
“Non Tiara berdoa selalu, ya, Non. Agar Papa dan Mama sehat dan diberi kesempatan untuk saling koreksi dan saling memaafkan. Jangan berhenti berdoa, karena Tuhan Maha Mendengar. Berdoa terus ya, Non. Janji?”
Tubuh harum Tiara kudekap sekali lagi. Tidak perlu waktu lama lagi, air mata kami seakan sudah seiya sekata, berderai dalam kesunyian. Pikiran kami menerawang jauh, menerobos langit kosong. Seolah mencari secercah kehangatan matahari hampa. Hanya ada tersisa serpihan harapan di sela-sela awan. Aku pun bisa apa? Mungkin hanya mampu membantu mengulang doa di masa kecilku, di situasi yang sama, saat bapakku benar-benar meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu dan aku.
Dulu aku hanya bisa diam melihat ibuku menangis meraung. Sekarang pun juga sama, hanya bisa menatap kelu pada Tiara, karena aku hanya seorang pembantu biasa, yang masih tidak mengerti juga, bagaimana bisa cinta lak nat itu ada, dan menyelinap senyap dalam sebuah keluarga bahagia.
(Selesai)
Cikarang, 030922
Komentar
Posting Komentar