PENUMPANG
PENUMPANG
Penulis : Lidwina Rohani
Bus malam mulai memasuki terminal hampir jam dua pagi. Tujuan akhir telah sampai. Hanya beberapa orang saja yang tersisa di dalam bus. Penumpangnya semua laki-laki, kecuali aku dan seorang nenek yang tadi duduk tepat di belakangku. Selama perjalanan nenek itu batuk-batuk terus, sehingga aku jadi tidak bisa tidur. Apalagi penumpang di sebelahku terus menerus menggangguku dengan banyak pertanyaan. Membuatku tidak nyaman selama perjalanan.
Aku pergi ke sudut terminal, mencari sosok adikku yang katanya mau menjemput. Jangan-jangan dia ketiduran. Mengapa teleponnya tidak diangkat?
“Rumahnya mana?”
Aku yang kesal karena tidak berhasil menghubungi adikku, menutup ponsel, dan menatap curiga pada pemuda itu. Pemuda yang duduk di sebelahku di bus. Ah, mengapa dia lagi?
Bergegas aku menghindari pemuda yang lengannya penuh tato itu. Tapi dengan sigap, pemuda itu menghalangi jalanku sambil mulai tertawa aneh. Ketakutan, aku mundur. Celaka!
“Serahkan tasmu, Cantik.”
Aku terperangah, spontan menggenggam erat tas, sambil mencoba mempertahankan tas besar lainnya. Hampir saja aku berteriak minta tolong, tetapi pemuda itu lebih cepat bergerak. Dia mendorongku keras ke arah sebuah pohon, belati kecil menempel di leherku. Mengancam agar aku tidak berteriak.
Kepalaku yang terbentur pohon berdenyut sakit, Nafasku hampir putus melihat kilatan sinar belati itu. Tapi mana mungkin aku serahkan tasku? Semua barang berharga tersimpan di tas. Bahkan uang tunai untuk membiayai ibuku yang sakit.
“Jangan buat aku kesal. Cepat serahkan tasmu!”
Aku merasa ada yang perih di leherku. Ujung belati itu pasti sudah semakin dalam. Sekali gerakan nekat, pasti urat nadiku putus, dan aku tamat.
Mata pemuda itu garang, liar dan kejam. Sekali renggut, tasku sudah berpindah tangan. Mustahil aku bisa melawannya. Bisa pulang dengan utuh saja pasti suatu mujizat. Aku menutup mata, berdoa dalam hati, pasrah.
Tiba-tiba aku mendengar suara erangan kesakitan pemuda itu. Aku tidak berani membuka mata, sampai ketika belati dingin yang menempel di leherku terjatuh.
Pelan-pelan aku membuka mata dan kaget. Pemuda itu sudah terkapar jatuh ke tanah, menelungkup ke tanah, dengan belati yang tertancap di punggungnya. Lebih kaget lagi ternyata Nenek yang duduk di belakangku waktu di bus malam itu yang menolongku!
“Ambil tasmu dan cepat pergi dari sini!”
“Nek, aku ... aku ....”
“Cepat pergi!” hardik Nenek tegas, sambil mencabut belati panjangnya.
Setelah terbata-bata mengucapkan terima kasih, aku pun melesat pergi dengan tanda tanya besar dalam hati. Meninggalkan Nenek yang sedang bersenandung, mengelap belatinya yang berlumuran darah.
(Selesai)
Cikarang, 150922
Komentar
Posting Komentar