KEBUN SAWO BUDE TINAH
Penulis : Lidwina Rohani
“ Boleh aku bertemu dengan Arum sebentar, Pak?”
Pak Jo tersenyum menatapku lekat, sambil terus mengipas sate.
“Pak Jo masih sibuk, Neng. Ini sebentar lagi ada yang mau ambil pesanan sate. Tadi masnya pergi sebentar, beli pulsa di ruko.”
“Tidak jauh, kan, rumahnya?” desakku masih penasaran dengan tangisan Arum.
“Apa berani Neng Titi ke sana sendirian? Itu ... rumah Pak Jo kelihatan dari sini.”
Aku mengikuti arah telunjuk Pak Jo. Dari kejauhan aku dapat melihat samar-samar cahaya lampu rumah di belakang kebun sawo Bude Tinah.
Sekelebat wajah Bude Tinah terbayang di sudut mata. Ah, tapi aku janji tidak lama. Cuma untuk melihat sebentar dan menghibur Arum lalu balik pulang. Bibi Naning juga tidak mungkin mencariku. Gerimis halus mengantar langkahku menuju rumah Pak Jo.
Semak belukar di sisi jalan setapak tidak begitu rimbun dan mengganggu, sehingga memudahkan langkahku mengarah ke kebun sawo Bude Tinah. Senja sudah berganti malam. Temanku sang bintang rupanya sudah siap menjadi penuntun abadi. Aku mempercepat langkah agar lekas sampai ke rumah Pak Jo.
Tetapi ... mengapa langkahku tidak juga sampai? Padahal rumah yang di maksud Pak Jo sudah tampak di depan mata meskipun samar. Pohon sawo di kanan kiri seolah-olah membisu. Tidak ada gerakan daun atau ranting yang mengayun. Bahkan tidak ada embusan angin yang menerpa wajahku. Mengapa juga tidak ada suara jangkrik atau katak? Aku juga tidak mendengar dengungan nyamuk kebun yang biasanya terbang gesit mencari mangsa. Hanya ada kesunyian yang membeku.
Tempat apa ini? Di mana aku sebenarnya? Mengapa semua tampak ganjil? Mengapa udara yang mengalir di hidungku terasa lain?
Sejenak aku menahan napas. Menghentikan langkah sambil mulai memperhatikan sekitar. Pohon-pohon sawo yang menjulang tinggi seolah mengawasiku diam-diam. Ah, benar-benar sepi, tidak ada gerakan atau suara apa-apa. Sepertinya ada yang ... aneh.
Tiba-tiba kakiku perlahan mulai berat. Sementara rumah Pak Jo sudah terlihat dari sini. Tangisan Arum juga sayup-sayup masih terdengar mengiba. Lirih dan pilu. Aku mulai takut. Tetapi yang paling membingungkan, ada apa dengan kakiku? Mengapa aku jadi sulit sekali bergerak?
Komentar
Posting Komentar