KIRANA
KIRANA
Penulis : Lidwina Rohani
Sebuah elusan mendarat lembut di kepalaku. Usapan dari tangan halus yang menempel di pucuk kepalaku itu bagai air dingin yang menyiram tanah gersang. Seperti musafir yang menemukan satu oase di padang gurun. Hati ini terasa hangat. Hangat sekali. Aku seakan dibawa terbang menembus awan, dan tak ingin turun ke bawah lagi.
“Lihat, rambutmu sangat hitam ... ikal bagus sekali. Siapa namamu, Cantik?’ Tangan wanita itu lalu turun, mengelus rambut dekat telinga sampai bahu, juga mempermainkan rambutku yang melintir alami di pucuknya. Dadaku seakan-akan ingin meledak saking senangnya mendengar perkataan wanita yang wangi ini. Ibu Bertha dan Mbak Lastri juga sering berkata bahwa rambutku hitam ikal dan bagus.
“Kirana,” jawabku lirih. Malu.
“Hm, Kirana? Nama yang bagus.”
Aku tersenyum. Makin malu dan menunduk. Seperti biasa aku memilin ujung rokku bila gugup, berusaha menyembunyikan wajahku yang mulai memanas malu.
“Kau cantik sekali, Kirana. Mengapa kau duduk di sini sendirian?”
Aku menggeleng, diam-diam mulai meremas ujung rokku.
“Ada apa? Mengapa tidak bermain bersama teman-temanmu?”
Aku kembali menggeleng. Makin kuat.
Tidak aku sangka, tiba-tiba wanita itu menangkupkan kedua telapak tangan pada wajahku, menahannya, dan mengangkat daguku. Aku bisa merasakan embusan nafasnya yang hangat menyapu di permukaan pipi. Bahkan telingaku juga bisa mendengar sebuah helaan nafas yang amat halus.
“Ibu Sara ....”
Oh! Itu suara Ibu Bertha memanggil. Seketika kedua tangan wanita itu melepas wajahku dengan lembut dan perlahan-lahan. Ah! ketahuan! Aku tersenyum sendiri. Jadi nama wanita itu adalah Ibu Sara. Wanita dengan minyak wangi lembut beraroma seribu bunga yang sangat aku suka.
Wanita wangi itu lalu menepuk pipiku dengan sayang. Lalu sekali lagi mengelus-elus rambut ikalku.
“Nah, Kirana. Ibu pergi dulu, ya. Mau bicara dengan Bu Bertha sebentar. Nanti Ibu kembali.”
Sebuah ciuman lembut mendarat di keningku. Aku terperangah kaget. Beberapa saat dada ini terasa sesak karena bahagia. Bayangkan! Wanita asing yang beraroma seribu bunga itu menciumku dengan hangat!
Aku hanya bisa mengangguk kecil, tak mampu berkata-kata. Membiarkan wanita yang wangi itu pergi dari hadapanku. Perlahan-lahan aroma wangi yang sudah mulai familier di ingatanku itu, memudar terbawa angin.
Komentar
Posting Komentar