KIRANA (4)

KIRANA (4)

Penulis : Lidwina Rohani 


 Kamar kembali sunyi. Hanya ada aku dan pantulan sinar bulan yang samar, masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Perlahan aku menyibak gordennya lebih lebar. Lalu duduk di tepi jendela dan mencoba menajamkan mata ke langit. Tetapi semua masih terlihat samar-samar olehku. Semua masih tampak sama. Remang-remang. Redup. Seredup hatiku menginginkan cinta yang sebenar benarnya. Lagi-lagi aku seperti buih ombak yang dilambungkan tinggi di udara, lalu dihempaskan, seperti biasa.

Entah mengapa aku bernama Kirana. Terkadang aku benci dengan namaku sendiri. Mengapa orang tuaku yang sudah membuang aku ke panti asuhan ini memberi nama Kirana padaku? Mungkin kah ketika dilahirkan dulu aku sangat molek dan cantik? Dan apa maksud mereka menamaiku Kirana yang berarti sinar? 

Nyatanya aku bukanlah Kirana, bukan sinar yang diharapkan oleh siapa pun. Orang tuaku saja menaruhku di pintu gerbang panti asuhan dengan sepotong kertas bertuliskan Kirana. Dan meskipun sudah beberapa kali ada orang tua yang tertarik padaku, selalu saja pada akhirnya mereka memilih anak yang lain untuk di adopsi. Ya, tentu saja mereka tidak akan memilih seorang anak yang buta dari lahir seperti aku. 

“Ki? Kok belum tidur?”

Buru-buru aku mengusap pipiku.l uang basah. Mbak Lastri mendekat dan merangkul bahuku. Aku tidak sepenuhnya buta total. Memang di siang hari penglihatanku gelap total. Akan tetapi menjelang malam, ketika tidak ada sinar matahari, penglihatanku masih bisa melihat samar-samar bayangan manusia atau benda.

Mbak Lastri adalah salah satu wanita yang bekerja membantu Ibu Bertha di panti asuhan ini. Dengan lembut dia menuntunku kembali ke ranjang, dan merebahkanku. Dengan hati-hati dia menyelimutimu.

“Tidur dan istirahatlah, sudah malam. Jangan berpikir apa-apa lagi. Besok Mbak carikan teman yang baru untuk menemanimu di kamar ini. Oke?”

Aku hanya bisa mengangguk dan memaksa senyum. Tangan Mbak Lastri tiba-tiba menjulur ke wajahku, menghapus sisa-sisa air mata. Aku menyeringai malu.

“Tetap semangat, Kirana. Ingatlah, kita sudah menerima anugerah terbesar dalam hidup ini. Kalau kamu bertanya, kapan itu? Jawabnya ketika kita bisa membuka mata kembali setiap bangun di pagi hari, dan diizinkan Tuhan menghirup udara.”

“Percayalah. Kita akan menjalani hari-hari yang baru dan indah besok pagi. Kamu tahu, Mbak Lastri menyayangimu, Ki.”

Mataku mengerjap, menghadang kristal yang sudah siap pecah. Mulutku hanya bisa terdiam. Menatap bayangan wajah Mbak Lastri yang samar-samar. Tetapi entah mengapa hatiku mulai menghangat mendengar ucapannya. Hangatnya menjalar sampai ke relung hati paling dalam. Anugerah terbesar. Ya! Aku sudah menerima itu. Setiap hari bahkan! Diizinkan membuka mata di pagi hari adalah anugerah terbesar. Jadi aku memejamkan mataku, mencoba tidur dan mencoba melupakan semua pertanyaan dan luka. Aku berjanji akan mencari dan mengejar sinar kecil di alam mimpi. Sinar kecil seperti namaku, yang akan menerangi ku di mana pun aku melangkah nanti.

( Selesai )


Cikarang, 050922


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU