AKU DAN TIARA (2)
Penulis : Lidwina Rohani
Perempuan anggun yang mempunyai usaha dan perusahaan sendiri itu hanya menggeleng. Rambut lurusnya yang wangi sepunggung, berwarna cokelat muda terang terurai rapi itu bergoyang lembut seirama dengan gelengan kepalanya. Sangat cantik dan elegan. Sambil menenteng tas kerjanya, Bu Maya melewatiku. Sejurus kemudian, langkahnya terhenti, dan memutar badan. Mata Bu Maya menatapku serius.
“Jangan lupa menjemput Tiara di sekolah, ya, Nik. Juga antar ke les balet sore nanti. Hari ini jadwalnya bukan?”
“Iya, Bu. Siap. Jangan khawatir," jawabku mengangguk hormat.
***
Sebuah kepala mungil menyembul dari balik pintu kamarku. Wajahnya putih bersih, dan cantik. Ada sekelebat kabut tipis samar yang memantul di kedua bola matanya. Aku meletakkan tas ranselku, mematikan TV ukuran kecil yang berada dalam kamarku, lalu segera berdiri dan mendekat menuju pintu.
“Non Tiara? Mengapa malam-malam ke sini, Non? Lapar? Mau makan lagi? Ingin apa, Non?”
Anak itu menggeleng. “Mbak Menik lagi apa?”
Bukannya menjawab, anak berumur tujuh tahun itu malah menjulurkan kepala, seolah berusaha melihat apa yang sedang aku kerjakan.
“Oh, cuma menjahit tali ransel. Ada yang putus satu. Mengapa Non Tiara ke sini? Lapar ya? Atau tidak bisa bobok? Mau Mbak dongengin cerita biar cepat boboknya? Mau?” Aku menggandeng tangan anak itu menuju arah kamarnya. Tetapi satu sentakan halus segera menghentikan langkahku.
Kepala mungil itu mendongak. Matanya menatapku lekat, tanpa suara. Dengan dua bola mata yang ....
Ah! Aku segera berjongkok, sekedar menyamakan tinggi kepala kami, agar aku dapat leluasa melihat kabut tipis dalam mata anak itu. Hatiku langsung meredup melihat tatapannya yang sendu.
“Ada apa?” tanyaku lembut.
“Apa benar Mbak Menik akan pulang kampung besok pagi?” tanya Tiara sambil melirik ranselku.
Aku sejenak tertegun pada suara Tiara yang bergetar hebat.
“Iya, Non. Ibu Mbak Menik sakit. Ada apa, toh, Non Tiara?”
“A-apa ... apa Tiara boleh ikut?”
‘’Hah? Ikut?” Mataku seketika membola. Bagaimana mungkin Tiara bisa berpikir akan ikut pulang ke kampungku?
“Tapi, kan, Non Tiara harus sekolah, Non?” ujarku lunak, sambil mengelus lembut lengan anak yang takut sendirian itu.
Komentar
Posting Komentar