MENDUA (2)
Mengapa di dunia ini masih ada stok lelaki macam Bimo? Aneh bin ajaib. Ketika Kak Jingga kabur bersama kekasih barunya, bisa-bisanya dia dengan gampang menyetujui saran orang tuanya untuk tetap meneruskan ikatan antara dua keluarga yang sudah lama bersahabat. Caranya? Ya dengan menyambung kembali pertunangan yang telah kandas. Kan, ini tidak masuk akal sama sekali? Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini saja.
“Kita jalani saja dulu, Lis,” gumam Bimo dengan kalem, ketika menerima tatapan tidak senang dariku. Hm, enteng sekali lelaki itu bicara.
“Tapi ... tapi aku sudah punya pacar, Bim. Kau tahu itu.”
“Tapi kau juga tahu, kan, penyakit yang di derita oleh kakekmu dan kakekku?”
Aku terpaksa menggigit lidahku sendiri. Bimo benar. Entah untuk berapa lama lagi, kakekku bisa bertahan bertarung hidup di dunia ini. Akan tetapi, haruskah perjodohan konyol yang sudah ketinggalan zaman ini dipertahankan, dan memakan korban? Aku meniup kopi aren yang sudah tersaji beberapa menit yang lalu, dan meminumnya dengan putus asa.
Aku melirik Bimo yang juga menyeruput kopinya. Lelaki tampan berpostur jangkung. Dewasa, dan wajahnya tenang. Mengapa Kak Jingga bisa berpaling darinya? Apa yang salah dari kedua manusia itu? Bukankah dulu mereka adalah pasangan yang serasi? Kak Jingga sendiri cantik, pintar, periang, dan sedikit manja. Seharusnya mereka bisa berbahagia bersama. Seharusnya mereka ....
“Kalau masih jengkel, marah saja padaku. Keluarkan semua. Jangan hanya memandangiku seperti itu.”
Aku merasa pipiku perlahan memanas. Ketahuan memperhatikan wajahnya.
“Aku hanya tidak mengerti, mengapa kau tidak mengajak Kak Jingga bicara baik-baik dan membujuknya untuk kembali.”
Bimo tertawa. Lagi-lagi tanpa suara. Lalu dia mengetuk dahiku dengan lembut. “Tahu apa kau tentang cinta?”
“Mengapa tidak berusaha dulu?” cecarku ingin tahu, setelah yakin Bi Murni meninggalkan dapur, sehingga tinggal kami berdua.
“Apa suatu hubungan yang menuju kebaikan diperlukan usaha?”
“Tentu saja!” sahutku ketus.
Bimo menatap lurus dan dalam ke arahku. Kedua bola matanya yang hitam semakin gelap dan pekat menyimpan tawa. Sambil menaikkan sebelah alisnya, Bimo menyeringai nakal. “Kalau begitu, artinya kita juga bisa mulai melakukan usaha semaksimal mungkin, bukan?”
Aku tertegun beberapa detik. Melihat Bimo tertawa gelak, aku baru sadar sudah termakan oleh kalimatku sendiri. Aku melengos kesal. Bagaimana mungkin hal itu terjadi kalau aku sudah punya Rama?
(Bersambung)
Cikarang, 230822 ODOP10-Agust22-day23
Komentar
Posting Komentar