PERMINTAAN


 PERMINTAAN

Penulis : Lidwina Rohani


Birawa melotot tidak percaya ke arahku. Aku mengangguk beberapa kali, mengisyaratkan bahwa aku tidak main-main dengan permintaanku. Lambat laun matanya yang melotot itu meredup, dan manik yang berwarna cokelat muda itu lalu berubah menyipit tajam, menelisik. Seperti sebilah pisau milik Bi Suci, yang siap mencincang daging ayam untuk isian perkedel kesukaanku.

Waduh, celaka ini! Diam-diam kedua tanganku yang sudah berkeringat, saling meremas di balik punggung. Kalau mata Birawa menyipit seperti ini, alamat lelaki ini akan banyak bertanya-tanya. Lagaknya mengingatkan aku seperti polisi yang sedang menginterogasi maling ayam.

Bahkan jemari yang tadi power full memetik senar gitar itu kini menurunkan nada. Sambil jarinya masih lincah menari di antara senar gitar, Birawa tidak melepas tatapannya padaku. Intro lagu Ruang Rindu Letto masih sayup-sayup terdengar. Ih, melow sekali Birawa ini.

“Mengantarmu ... ke mana tadi?” tanya Birawa mengusik lamunan.

“Eh, itu ... ke pernikahan Anita temanku. Besok Sabtu. Bisa, kan, Mas Bir?” tanyaku dengan penuh harapan. Pada siapa lagi aku minta tolong orang yang dipercayai kakakku yang posesif seperti Mas Agung, kalau tidak pada Birawa, sahabat Mas Agung sendiri? Lagi pula rumah Birawa ada di seberang jalan rumahku. Pasti tidak akan repot, kan, jika harus mengantarku? Lagi pula aku perhatikan, Birawa belum pernah dekat dengan perempuan. Sepertinya hidup Birawa masih seputar pulang dan pergi untuk bekerja saja. 

“Tumben, Lin? Mengapa tidak minta antar Radit? Ke mana dia?” 

Nah kan? Satu peluru sudah dimuntahkan oleh Birawa. Bagaimana ini? Bagaimana aku harus menjawab Birawa dengan harapan Birawa tidak mencium misiku yang amat penting ini?

Aku mencoba senyum, lalu duduk di sebelah Birawa dengan sok santai. Mencoba membalas tatapan Birawa yang penuh selidik itu dengan tatapan lembut yang innocent. Birawa menaikkan kedua alisnya, minta jawaban.

“Radit lagi pergi, mengantar mamanya menengok omanya ke Bandung,” sahutku sambil mengangkat bahu. “Maaf, ya, kalau aku sering merepotkanmu, Mas.” 

Sudah menjadi peraturan, bahwa selama ikut menumpang tinggal di rumah Mas Agung, aku harus mematuhi semua aturan konyolnya. Salah satunya adalah melarangku pergi malam-malam, kecuali di temani oleh Mas Agung sendiri, atau Birawa sahabatnya yang sudah dipercaya. Sayangnya Mas Agung dinas ke luar kota, sehingga di rumah hanya tinggal aku dan Bi Suci sendirian.

Birawa hanya menyeringai. “Aku tidak keberatan menjagamu, bocil.”

Huh! Bocil. Bocah cilik. Aku tersenyum pahit. Mas Agung dan Birawa selalu memanggilku Bocil, dan menganggap aku masih seperti anak kecil. Padahal aku sudah kuliah. Menyebalkan, bukan?


Cikarang, 180822






 





   

   

   


   


   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU