MENDUA
MENDUA
Penulis : Lidwina Ro
Dari dalam dapur aku mencuri pandang ke arah Bimo. Lelaki itu tampak bersikap santai di tengah-tengah kehangatan canda tawa dua keluarga. Garis wajahnya yang di topang rahang tegas memancarkan kedewasaan. Sepasang matanya bersinar, seakan lebur bersama kegembiraan canda tawa seisi rumah. Tidak ada gurat penyesalan. Tidak ada kesedihan sama sekali. Semua seperti terlihat normal. Munafik!
“Lho, kok? Mengapa Non Lisi malah ada di sini?”
Aku sedikit tersentak kaget. Dengan sedikit enggan terpaksa aku mengakhiri pantauanku. Segera tanganku menyambar sembarangan sebuah gelas di rak piring. Bi Murni seperti biasa tersenyum lembut, buru-buru pembantu tua itu menghampiri aku.
“Ingin minum apa, Non? Sini Bibi buatkan. Mau kopi aren, ya?”
Pembantu tua yang sudah hafal minuman kesukaanku itu, langsung mengambil gelas dari tanganku sambil terkekeh, dan membawa gelas menuju termos yang terletak di ujung meja dapur.
Aku hanya bisa terdiam dengan linglung, dan membiarkan Bi Murni melakukan pekerjaannya. Tapi bolehlah. Secangkir kopi aren panas untuk mengusir pening yang sudah bercokol di kepala sejak beberapa hari ini.
“Tolong bikin dua, ya, Bi.”
Hei! Suara bariton itu ... Aku mengenal suara itu dengan baik. Mau apa dia menyusul ke dapur? Berani-beraninya dia! Dengan gusar aku menoleh. Menatap sengit pada sepasang mata hitam yang seakan penuh senyum, dan menertawaiku itu.
“Eh, Mas Bimo. Mau kopi juga, Mas? Kopi hitam, kopi susu, atau kopi jahe ?” tanya Bi Murni dengan senyum lebar dan antusias.
“Kopi aren.”
Bi Murni tertawa kecil, sementara aku melengos. Tidak mungkin menyerang lelaki itu secara terang-terangan bila ada Bi Murni di sekitarku. Berani sekali Bimo meledek aku. Dengan tenang Bimo masuk ke dalam dapur, dan mengambil kursi, lalu duduk tepat di sebelahku. Isi kepalaku yang masih kacau balau dan berantakan akibat ulah konyolnya, mendadak mendapat tempat untuk melancarkan protes.
“Masih ada kesempatan untuk membatalkan pertunangan ini, Bim,” desisku tajam, menekan sebaik mungkin amarah yang melanda.
Bimo tertawa tanpa suara. “Kalau kau mau, mengapa bukan kau saja yang bicara.”
Aku berdiri. Benar-benar marah. Bimo sangat keterlaluan. Mengapa tetap bersikukuh pada pertunangan konyol ini? Seharusnya bukan aku yang berada di posisi ini. Seharusnya Kak Jingga yang melangsungkan pertunangan ini! Mengapa sekarang jadi aku yang menjadi pengganti Kak Jingga? Lelaki macam apa Bimo ini sesungguhnya? Heran aku!
Cikarang, 220822
ODOP10-Agust22-day22
Komentar
Posting Komentar