SUATU SENJA
SUATU SENJA
Penulis : Lidwina Rohani
“Ingat pesanku!” ujarku pada sopir yang menatapku sambil cengengesan itu.
“Siap, bos.”
Langit masih memuntahkan gerimis saat aku turun dari mobil. Sambil mengembangkan payung, aku berlari kecil masuk ke halaman rumah Lia yang pagarnya tidak di kunci. Rumah besar yang tiga tahun tidak pernah kusambangi lagi itu, tampak lengang. Sepi. Apakah Lia tidak ada di rumah? Akan tetapi, bukankah tadi mereka sudah sepakat dalam WhatsApp akan bertemu senja ini?
Tanganku sejenak ragu untuk mengetuk pintu. Langkahku juga mendadak terhenti. Tiba-tiba kilasan-kilasan peristiwa dan sebuah wajah memenuhi kepala. Tidak dapat aku ungkiri, dadaku pelan-pelan terasa perih. Sambil meremas ujung rok, aku memejamkan mata. Berusaha menghalau rasa hangat yang berdenyut dan berdesakan di sudut mata.
Segera aku menghirup udara dalam-dalam, seolah ingin mengumpulkan segenap kekuatan yang ada. Ketika menoleh ke arah mobil yang terparkir di luar, mataku menangkap beberapa karangan bunga ucapan selamat menempuh hidup baru dan ucapan selamat lainnya masih teronggok di sudut halaman. Basah oleh ulah gerimis senja. Hm, sepertinya belum sempat dibereskan.
Setelah dua hari berperang dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku menyerah. Bagaimanapun juga Lia adalah sahabatku. Kami sudah banyak melalui banyak momen suka dan duka bersama-sama. Meskipun ada sesuatu yang menghalangi hatiku untuk pergi ke rumahnya, dalam hal ini aku harus berkepala dingin. Aku harus mengucapkan selamat atas pernikahan sahabatku ini.
Aku mulai mengetuk pintu. Tiga tahun tidak bertemu langsung dengan Lia, menghadirkan rasa rindu yang dalam pada sahabatku itu. Aku berharap segera bertemu Lia, melepas rindu, memeluknya, mengobrol sebentar, lalu pulang. Dan semua selesai. Kembali ke laptop.
Pintu tiba-tiba terkuak lebar. Tanganku membeku di udara. Jantungku serasa berhenti berdetak saat di hadapanku berdiri sosok menjulang tinggi. Leo.
“Yo? Dengan siapa? Ayo masuklah.”
Ya, ampun! Mulutku ternyata juga membeku. Tidak sanggup membalas sapaan hangat lelaki jangkung yang menatapku lekat itu. Celaka! Mengapa, kok, Leo yang membuka pintu?
“Eh, Lia ... Lia ....”
Sambil melebarkan pintu, lelaki itu tersenyum. Matanya masih menatap lurus ke arahku. “Masuklah dulu.”
Sebuah jangkar seperti menahan kakiku. Sangat berat rasanya untuk melangkah masuk ke dalam rumah Lia. Eh, sebenarnya lebih berat rasanya bertemu dengan Leo di saat sekarang.
Bersambung
Cikarang, 090822
Komentar
Posting Komentar