SUATU SENJA (3)
Penulis : Lidwina Rohani
“Bagaimana? Apa kau sudah merasa puas?” Abram bertanya tanpa menoleh. Matanya lurus, tetap fokus menyetir, dan konsentrasi pada jalan raya yang masih padat dengan kendaraan. Sementara mobil yang dikendarai Abram meluncur tenang, aku sibuk mempertanyakan keadaan hatiku sendiri. Apakah aku sudah puas? Pertanyaan Abram sepertinya agak kurang sopan, akan tetapi dia ada benarnya juga.
Aku menoleh pada teman baruku, sekaligus tetangga dan pelanggan setia resto tanteku di mana tiga tahun ini aku membantu pekerjaan Tante. Tempat tinggal Abram hanya berjarak dua rumah dari rumahnya Tante. Lelaki bernama Abram itu adalah penghuni kos yang suka nongkrong dengan teman-temannya di resto milik Tante. Sosoknya yang periang dan hangat, membuatku tak sadar menjadikannya sebagai teman mengobrol yang istimewa. Undangan pernikahan Lia yang semula membuatku bimbang untuk datang, tiba-tiba terpecahkan dengan mudah saat aku meminta tolong Abram mengantarku ke rumah sahabatku.
“Terima kasih sudah menolongku bersandiwara tadi,” sahutku sambil berusaha mengukir senyum senormal mungkin, sambil menata hati yang bergejolak sendu. Aku tak habis pikir. Sebenarnya untuk apa dan untuk siapa aku bersedih? Mengapa sangat sulit sekali membebaskan pikiranku dari bayang-bayang wajah Leo?
“Hm, jadi itu mantan yang membuatmu patah hati?” tanya Abram ringan. Seolah tidak tahu, betapa dalam dan menusuknya pertanyaan itu.
Aku tersenyum getir mendengar sindiran Abram. Hanya saja aku tidak ingin berbagi luka dengan siapa saja. Termasuk Abram. Ah, pasti aku tadi terlihat konyol di mata Abram.
“Apa aku kelihatan sangat bodoh di dalam tadi, Bram?”
Bukannya menjawab, Abram malah terkekeh, masih dengan posisi mode serius menyetir mobil.
“Baiklah, mari kita akhiri sandiwara ini sampai di sini. Eh, hampir lupa, ini bayaran yang telah kita sepakati.”
Aku melirik, ada satu senyum samar terbit di sudut mulut lelaki itu, saat aku mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang berisi uang, dan meletakkannya di pangkuan Abram. Entah apa arti senyuman itu. Aku tidak paham. Kepalaku saja masih berat memikirkan cara untuk menyingkirkan rasa di hatiku yang masih bersikukuh mempertahankan perasaan yang seharusnya sudah normal dan netral.
Sementara senja dari tadi telah berlalu. Malam menggantikan senja dengan sendu. Sesendu hatiku yang masih lesu. Lebur dengan harapan yang kian membiru. Entah sampai kapan semua ini berlalu. Aku benar-benar tak tahu. Gelap malam pun hanya bisa menatap dan membisu.
Cikarang, 11082022
Komentar
Posting Komentar