MENDUA (3)

Penulos : Lidwina Ro


 Kedua keluarga besar kemarin sudah saling bertemu. Berarti tinggal menetapkan hari pertunanganku. Ibu dan Bapak tidak bisa lagi memohon kepada Kak Jingga, karena sudah ada janin dalam perut kakakku bersama dengan kekasih barunya. Orang tuaku berencana akan menikahkan mereka secepatnya. Apakah jarak yang memisahkan antara Kak Jingga dan Bimo adalah penyebab adanya orang ke tiga masuk? Entah lah. Tapi aku bisa menangkap sekelebat penyesalan Kak Jingga di sela-sela permohonan maafnya padaku kemarin.

“Aku tidak menyangka Kakek masih bersikeras menjadikan Bimo bagian dari keluarga setelah aku melakukan kesalahan, Lis. Maafkan aku.”

Melihat tangisan kakak kandungku yang terlanjur berbadan dua, aku menjadi lunglai, merasa kalah, dan tidak berkutik.

“Lis, meskipun Bimo tidak terlalu suka bicara, tapi Bimo lelaki baik dan bisa dipercaya. Kakak bersalah sudah mengecewakannya.”

Rasanya aku ingin berteriak saja di depan wajah Kak Jingga. Kalau Bimo lelaki baik, mengapa Kakak bisa berpaling hati? Lalu bagaimana dengan hidupku selanjutnya? 

“Aku sudah punya Rama, Kak.”

“Rama?” Kak Jingga tersenyum samar, lalu menggeleng lembut. “Bimo lebih baik dari Rama.  Percayalah padaku.”

“Tapi, Kak ....”

“Keluarga kita selain sudah bersahabat dengan keluarga Bimo, juga sudah lama menjalin mitra kerja bersama perusahaan kakeknya Bimo. Entah sejarah apa yang mereka alami, sehingga mereka bersepakat dengan perjodohan ini, Lis. Yang aku tahu, keluarga kita tidak akan seperti ini kalau keluarga Bimo tidak ikut campur tangan membantu. Jadi tolonglah, Lis.” 

Segera kukatupkan mulutku demi melihat sinar mata sarat permohonan dari Kak Jingga. Ah, percuma curhat. Lihatlah. Bahkan Kak Jingga masih membela Bimo, sekaligus membela perjodohan yang diatur oleh Kakek. Dia bahkan tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku. Lalu apa yang harus aku katakan kepada Rama? 

“Lis!”

Sebuah panggilan dengan nada yang lembut, sontak memudarkan lamunanku. Entah sejak kapan Rama berdiri di depanku. Menatap lekat. Tentu saja dengan sepasang mata yang sarat kasih sayang.

“Melamun apa? Serius amat. Makan yuk. Biar enggak lesu.”

Sontak aku menahan langkah Rama menuju kantin. 

“Eh? Ada apa? Mau pulang sekarang?”

“Mau ngobrol sebentar.”

Sebuah senyum spontan mengukir dua buah lesung pipit di pipi Rama. “Ngobrol lama juga enggak apa-apa. Ada apa?”

Duh, bagaimana harus memulai obrolan ini? Rasanya aku belum siap. Belum siap mencipta drama yang menyesakkan dada ini. Seharusnya aku bisa mengulur obrolan ini sedikit lebih lama. Tapi siapa sangka, Kakek masuk rumah sakit kemarin. Dan seperti yang aku duga, Kakek ingin menyaksikan pertunanganku dimajukan!

(Bersambung)

Cikarang, 240822





 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU