SERIN (3)
SERIN (3)
Penulis : Lidwina Ro
Langkah kecil menghampiriku dengan ragu. Aku menoleh. Serin dengan seragam putih birunya, menatap datar, sangat kental dengan keraguan. Aku gemas dengan cara Serin memandangku. Akan tetapi juga geli dan trenyuh, karena tatapan itu sama persis dengan tatapanku dulu, di mana aku juga pernah ada di posisi Serin yang sekarang. Menjadi anak broken home memang tidak pernah mudah. Jiwa yang terluka dan terbuang selalu melekat erat, membayangi ke mana saja kaki melangkah. Teman yang memandang iba, menjadi beban tersendiri yang tak pernah berkurang timbangannya. Perasaan akan kehadiran yang tidak diinginkan orang tua adalah mimpi abadi pada malam kelam. Tekanan batin setiap hari akan semakin bertambah, menghajar saraf, memunculkan pemberontakan dan kebencian yang samar, yang entah dari mana munculnya.
“Apa raporku bagus? Apa Ayah nanti tidak marah lagi?”
Beberapa detik aku tertegun sendiri dengan kalimat yang terucap lirih itu. Lalu aku mendekatinya. Dengan erat aku merengkuh bahu Serin, mencoba memberi kehangatan pada sepotong hati yang bingung dan tak tahu arah.
“Semua orang tua menyayangi anak-anaknya, Serin. Yang dilakukan Ayah semua untuk kebaikanmu,” jawabku sambil mengelus punggungnya dengan lembut.
“Ja-jadi Ayah tidak akan memulangkan aku ke rumah Nenek, kan?”
Aku menaikkan alis, menatap lurus Serin dalam-dalam. Ada kekhawatiran di manik mata anak itu. Juga selapis kabut sepi di balik kaca-kaca matanya. Hatiku seperti dihantam godam.
“Aku yang pertama kali menentang, jika ayahmu mengirimmu ke rumah Nenek.”
Perlahan-lahan bola mata Serin berbinar. Kabut di matanya yang menepi itu sontak menghangatkan hatiku. Dengan ragu tangannya terjulur, menyentuh jemariku.
“Me-mengapa I-ibu baik padaku?”
Seperti tersengat kala, aku mendengar pertanyaan itu. Bukan karena aku dibilang baik oleh Serin. Bukan. Tetapi ini untuk pertama kalinya Serin memanggilku ‘ibu’.
Suaraku tiba-tiba menguap, menelan ludah pun aku seakan lupa caranya. Hari ini Serin mau membuka hatinya untukku. Setelah tiga tahun Serin menjaga jarak denganku, akhirnya kini dia mau memanggilku ‘ibu’ meskipun dengan suara lirih dan ragu.
“Karena Ibu menyayangimu, Serin. Ibu menyayangimu sejak pertama kali melihatmu. Apa pun akan Ibu lakukan supaya kau tersenyum lagi dan bahagia.” Mataku bertemu dengan mata Serin dalam satu garis lurus. Ada janji yang tak kasatmata pada batin kami. Terikat erat pada ceruk terdalam pada dada kami masing-masing.
“Ibu mencintaimu, Serin.”
Dan perlahan-lahan kedua pipi kami basah begitu saja.
(Selesai)
Cikarang, 01 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar