SALEH
SALEH
Penulis : Lidwina Ro
Dari tempat parkir sebuah mini market, Saleh menatap seorang ibu-ibu yang baru saja keluar dari pintu kaca. Kedua tangannya menenteng tas keresek putih yang penuh aneka makanan dan botol sirop. Dua keresek di tangan kiri dan dua keresek di tangan kanan. Di belakang ibu itu, anaknya juga serupa. Membawa belanjaan di dalam tas keresek.
Walaupun tampak berat, akan tetapi wajah ibu dan anak itu memantulkan kegembiraan. Saleh pun menduga-duga, bahwa mereka pasti sedang berbelanja untuk keperluan lebaran yang tinggal menghitung hari itu. Hm, alangkah menyenangkan bila hari Idul Fitri tiba. Akan ada banyak makanan lezat ada di atas meja makan. Kue-kue kering berlimpah. Ada kue kacang, nastar, putri salju, kastenggels bertabur keju. Hei, mengapa bayangan kue-kue enak ini tiba-tiba mengingatkan Saleh pada ibunya?
Dengan hati-hati Saleh menggantungkan tas keresek berisi roti tawar dan selai kacang di atas setang sepeda ontelnya, lalu dengan perlahan mengayuh sepeda. Terik matahari yang cukup menyengat tidak Saleh hiraukan. Kakinya tetap mengayuh sepeda sampai akhirnya dia berhenti di suatu tempat yang teduh.
Saleh menyandarkan sepedanya di tembok luar. Sambil menyeka keringat yang membasahi kepalanya, dia mendorong gerbang besi yang sudah banyak karatnya di sana sini itu. Saleh lalu menutup gerbang itu dengan hati-hati.
Sepi sekali. Hanya ada Mang Yadi di ujung sana sedang asyik membakar setumpuk daun-daun kering. Saleh mengedarkan pandangan mata sejenak. Lalu dengan langkah mantap, Saleh melipir ke kanan, sepanjang tembok.
Saleh berjongkok di sisi gundukan tanah yang sudah mulai ditumbuhi rumput liar. Sesekali dicabutnya rumput yang paling panjang, dan membuangnya sembarangan. Kerikil dan batu, Saleh singkirkan ke pinggir. Beberapa kali Saleh menghela napas. Bayangan senyum ibunya menari-nari di pelupuk matanya. Sungguh, kali ini dia rindu sekali pada ibunya, lebih rindu dari nastar buatan ibunya di kala itu. Kalau saja dia bisa memutar ulang waktu, untuk sejenak merasakan kehadiran ibunya. Rumahnya memang kecil, akan tetapi tetap hangat bila ada ibu. Ibu rajin bersih-bersih, sehingga rumah selalu rapi dan nyaman. Setiap pagi ibu menyiapkan sarapan, dan tidak lupa membuat camilan untuk sore hari. Walaupun itu hanya singkong goreng, atau pisang rebus.
“Leh? Loh, tumben kamu siang-siang ke sini, Nak?”
Saleh terjingkat kaget. Mang Yadi -juru kunci makam- tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya. Buru-buru dia mengusap pipinya yang basah. Malu ketahuan cengeng oleh Mang Yadi.
“Kangen sama ibumu, ya?” tanya Mang Yadi, pura-pura tidak melihat Soleh menangis.
“Iya, Mang.”
“Sudahlah, ibumu sudah bahagia di atas sana. Pokoknya kamu harus rajin belajar dan menurutlah sama Mbakmu, biar ibumu senang. Ngomong-ngomong, kamu dari mana?”
“Dari super market, Mang.”
“Loh, beli apa?”
Soleh tiba-tiba ingat, Mbak Mina tetangga sebelah rumahnya minta tolong dibelikan roti tawar.
“Aku mau pulang, Mang. Tadi di suruh Mbak Mina beli roti tawar.”
Mang Yadi terkekeh. “Ya, sudah. Cepat pulang dulu. Jangan lupa kalau lebaran nanti, kamu datang ke rumah Mamang, ya. Istri malang bikin kue nastar banyak!”
Soleh pun mengangguk senang. Hatinya berbunga.
Cikarang, 18.04.23
Komentar
Posting Komentar