PULANG KAMPUNG
PULANG KAMPUNG
Penulis : Lidwina Ro
Sebuah sepeda motor berhenti di depan warung, tepat ketika aku sedang nongkrong santai tak jauh dari warung. Seorang lelaki kira-kira berumur tiga puluhan tahun -yang aku prediksi sebagai kepala keluarga- memarkir motor bututnya dengan wajah letih. Sang istri yang sedang menggendong balita, turun dari boncengan. Berikut turun seorang anak lelaki kecil berjaket lusuh dengan mata yang agak mengantuk.
Sebuah kardus mi yang diikat tali rafia, diletakkan di depan sepeda motor dekat kaki pengemudi, lalu di tumpuk dengan tas keresek berwarna merah yang sarat dengan barang. Atau mungkin juga itu berisi makanan. Juga bisa pakaian atau sejenisnya. Pokoknya aku menerka semua itu pasti barang-barang keperluan untuk menyambut lebaran.
“Ayah, aku ingin minum es teh!”
Dalam keletihannya, lelaki itu mengangguk sambil tersenyum, dan menggandeng anak lelakinya masuk ke dalam warung. Sebelum mereka masuk ke dalam warung, mereka mencuci tangan terlebih dahulu, baru bertanya-tanya menu yang disediakan di situ.
Tidak banyak pilihan makanan yang disediakan di situ. Hanya nasi soto ayam, dan mi instan biasa. Sementara kalau minuman lebih banyak pilihannya. Dari teh manis hangat, es teh manis, kopi hitam, kopi susu, dan es kelapa muda.
“Aku boleh pesan mi goreng, ya, Yah?”
Kembali sang ayah mengangguk, lalu menatap istrinya sambil bertanya akan memesan apa. Istrinya yang sedang menatapku tajam kelihatan kaget, lalu buru-buru menjawab makanan pesanannya dengan singkat.
“Capek tidak?” tanya sang ayah kepada jagoan kecilnya.
“Capek sekali, Yah. Tapi mengapa kita tidak naik bus seperti dulu, Yah?”
Sang ayah tertawa kecil sambil melirik istrinya. “Karcisnya terlalu mahal untuk kita berempat, Nak. Sayang harus membuang uang begitu banyak. Lebih baik uangnya untuk membeli keperluan lain yang lebih penting buat lebaran.”
“Buat beli baju dan sarung baru, ya, Yah?”
Lelaki itu mengangguk sambil mengelus lembut rambut anak kecilnya.
“Apa nanti Kakek dan Nenek juga dibelikan baju baru juga, Yah?”
“Tentu saja.”
“Beli sandal baru juga untuk Kakek, ya, Yah? Sandal Kakek sudah jelek.”
“Iya, sandal baru untuk Kakek.”
Lalu kulihat mata anak kecil itu bersinar-sinar. Terpantul kegembiraan yang sangat dalam ke dua bola matanya. Dia kelihatan sangat mencintai kakeknya.
Anganku pun melayang jauh. Melihat kegembiraan anak itu, aku seperti melihat kegembiraanku sendiri di masa lalu. Saat ketika aku masih kanak-kanak. Ketika itu aku juga seantusias itu menyambut hari lebaran tiba.
Berkumpul kembali dengan keluarga. Membeli baju baru bersama. Salat Ied bersama. Makan ketupat bersama. Bersilaturahmi ke sanak saudara dan tetangga. Mendapat uang angpau. Oh, semua seperti baru kemarin terjadi. Semuanya masih terekam dengan jelas di kepalaku.
“Yuk, Mas. Kita lanjut berangkat sekarang,” ujar sang istri ketika mereka semua telah selesai makan dan melepas dahaga.
“Yakin tidak istirahat dulu, Dik?” Sang suami mengerutkan kening keheranan.
Sekilas wanita itu melirik ke arahku. Lalu mendengkus lirih. “Kita berangkat sekarang saja.”
Aku hanya tersenyum. Bukan salahnya bila wanita itu ingin cepat-cepat pergi dari warung ini. Dan bukan salahnya juga, karena dia bisa melihatku yang setiap hari nongkrong di atas pohon di sebelah warung ini, karena pohon ini memang rumahku. Sejak dulu.
Cikarang, 28.04.23
Komentar
Posting Komentar