MEGA


 MEGA (1)

Penulis : Lidwina Ro


Dengan susah payah aku mencoba membuka kembali sebuah ruang yang sudah terkunci rapat-rapat di sudut hati pada lorong gelap yang tak berlampu. Menyingkirkan satu demi satu salur-salur duri yang menutupi permukaan daun pintunya. Meskipun durinya perih menggores, akan tetapi mungkin ini sudah waktunya aku membuka ruang yang sebenarnya tidak ingin aku buka sampai aku menutup mata.

“Apakah benar papa Mega sudah meninggal, Mah?”

Pertanyaan sederhana dari seorang anak kelas dua SD itu cukup membuat seluruh tubuhku menegang. Aku menatap anak tunggalku yang sedang bersila di karpet depan televisi, sambil sibuk memotong kuku jari kakinya. Anak itu bahkan bertanya sambil lalu, dan tidak menoleh. Bahkan wajahnya tidak menunjukkan guratan garis yang serius.

Dulu aku memang pernah menjelaskan pada Mega bahwa papanya sudah meninggal lama saat Mega masih kecil. Aku yakin, Mega sudah mengerti. Lalu apa yang terjadi hari ini sehingga Mega bertanya mengenai papanya lagi? Apakah ada sesuatu yang mengganggu di hati anaknya? Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?

“Mah!” seru Mega mengagetkanku. Ketika Mega mengangkat wajah dan menemukanku sedang diam-diam berpikir keras, anakku itu langsung tertawa cekikikan. Nih, anak, sukanya bercanda. 

“Mengapa wajahnya Mamah begitu?” 

Aku menarik nafas panjang. Mega  memang sifatnya tidak jauh dari papanya. Terus terang dan suka usil. Tetapi alangkah sunyi duniaku bila tidak ada kehadiran Mega. 

“Ya karena kamu bertanya seperti itu. Memang ada apa?” tanyaku sambil membuka kulkas, mengambil air dingin.

Mega kembali cekikikan. Lalu kembali menunduk, meneruskan kegiatannya memotong kuku. Aku pun duduk di meja makan, meraih gelas yang tertata di atas meja.

“Kalau begitu ... artinya Mega bisa punya Papa baru, dong!”

“Apa?” Leherku seperti tersedak duri ikan bandeng. Spontan aku batuk dan merasa nyeri, tidak hanya di tenggorokan, akan tetapi juga nyeri di ulu hati.

“Seperti temanku Silvi itu, Mah. Ketika ayahnya Silvi meninggal, ibunya nikah lagi. Dan sekarang setiap hari Sabtu, Silvi selalu dijemput oleh ayah barunya.”

Segelas air dingin yang baru saja aku tuang, dengan rakus kuteguk habis. Tandas. Tak bersisa. Perlahan-lahan aku mulai menepis rasa kaget.

( Bersambung )

Cikarang, 24.04.23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU