KUKUH


 KUKUH

Penulis : Lidwina Ro 


“Apa kamu Alisa?”

Aku terjingkat kaget. Galah yang aku pegang untuk menjolok mangga hampir saja terlepas dari genggaman. Segera aku mencari ke arah sumber suara yang asing bagi telingaku. Lalu aku menemukan sebuah senyum tengil, dengan ke dua mata berwarna hitam dan dalam, dari seorang lelaki jangkunga.

Aku membuang muka, lalu kembali menatap ke atas pohon, meneruskan membebaskan galahku yang tersangkut ranting. Semakin kutarik semakin tersangkut. Sungguh menjengkelkan sekali. Merepotkan saja. Bikin jengkel!

Tiba-tiba lelaki itu melompati pagar, dan dalam sekejap sudah berada di halaman kakekku. Belum sempat reda kagetku, lelaki itu mengambil alih galah dari tanganku. Tanpa bicara dia membantu membebaskan galah yang tak tahu diri itu.

“Kau suka mangga?” tanyanya sambil menatap lurus ke arah mata. Aku gelagapan karena jarak di antara kami yang terlalu dekat. Buru-buru aku melangkah mundur, menjauh. Sungguh, dia ini ...

“Yang matang atau yang muda?” desak lelaki itu sambil menatap ke atas pohon, seperti sedang memilih-milih mangga yang tepat. Dari mana lelaki bawel ini muncul? Dari mana dia tahu namaku? Mengapa tiba-tiba sok akrab saja? Sepertinya aku tidak mengenalnya.

“A-apa?” 

Tiba-tiba lelaki itu menoleh tak sabar ke arahku yang hanya bisa menatap bodoh. Mata tajamnya membuyarkan semua kebingunganku.

“Kau suka mangga yang matang apa yang muda? Aku bantu kau mengambilkan.”

“Si-siapa kau?” tanyaku masih gagap.

Lelaki itu tertawa geli. “Tetangga sebelah rumah kakekmu.”

Spontan mataku melirik rumah di samping rumah Kakek. Lalu mangut-mangut kecil. 

“Jadi?”

“Jadi apa?” tanyaku heran.

“Mangga yang matang apa yang muda?”

“Muda.”

“Sudah kuduga. Kau suka rujak, ya?”

“Bagaimana kau tahu?”

“Wajahmu.”

“Ada apa dengan wajahku?”

“Masam ketika bertemu dengan orang asing.”

Uh! Terus terang sekali dia! Aku menyembunyikan kesalku. Sementara dia menjolok mangga dengan galah, aku menyingkir ke pinggir. Tidak berapa lama, beberapa mangga muda berukuran besar sudah terkumpul. Mangga gadung milik kakekku memang tidak ada banding kelezatannya. Dagingnya tebal, tidak mengecewakan. Diperam pun tidak akan berserat. 

“Ini sudah cukup?”

Aku mengangguk cepat. “Terima kasih, eee ....”

“Namaku Kukuh, Alisa. Senang bisa berkenalan denganmu.” 

Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya, lalu pergi melompati tembok pembatas rumah.

Dih, dasar genit!


Cikarang, 30.04.23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU