HATI YANG TERSESAT 3
HATI YANG TERSESAT 3
Penulis : Lidwina Ro
Sulit dipercaya. Apa ini hanya halusinasi kami saja? Atau ini nyata? Di dalam hati, terdengar suara resah yang riuh. Bagaimana mungkin sekarang hatiku sama tersesatnya dengan kakiku?
“Res? Bukankah itu ... itu mereka yang tadi di atas?” gumam Beni sambil menyentuh lenganku. Suaranya sedikit bergetar.
Aku mengangguk kaku. Antara percaya dan tidak percaya. Jika dipikir secara logika, bagaimana mungkin mereka bisa mendahului kami? Lagi pula, terakhir kali bertemu, arah mereka tadi berlawanan. Jadi bagaimana bisa dua gadis tanggung itu berada di jalan setapak itu?
Kedua gadis itu masih melambai dalam kejauhan. Kelihatan masih menanti kedatangan kami berdua.
“Sudah aku bilang dari awal tadi, kan? Mereka sepertinya aneh, Res. Tapi kau tak percaya.”
Hatiku semakin riuh berhitung. Jalan mana yang harus aku pilih? Ke kanan, atau ke kiri?
“Coba pikir, apa tidak aneh ketika mereka bilang, rumah mereka dekat dari situ, saat kau tanyakan rumahnya? Mana ada rumah di dalam hutan, Res?”
Beni benar juga. Akan tetapi itu tidak mengubah keadaan. Kami tersesat sekarang ini. Dan butuh orang untuk menunjukkan jalan ke rah perkampungan sebelum magrib.
“Kita ikuti saja mereka, Ben.”
“Eh?” Beni mendelik mendengar keputusanku. Sambil menggelengkan kepala, dia mencoba berusaha menahan langkahku.
“Tidak apa-apa, Ben. Mungkin mereka hanya ingin menolong.”
“Apa kau yakin?” Beni menyipitkan mata.
“Yakin saja.”
“Kalau malah menyesatkan bagaimana, Res?”
“Kita, kan, punya Tuhan. Apa pun yang akan terjadi nanti, Tuhan akan melindungi,” sahutku setelah diam beberapa saat.
Cekalan Beni di tanganku pun mengendur perlahan. Setelah memantapkan hati, sahabatku itu mengangguk samar, lalu berjalan mendahuluiku ke arah jalan setapak sebelah kanan.
Gerimis masih turun ketika akhirnya kami sampai ke tempat dua gadis tanggung itu. Mereka masih dengan pakaian sederhana yang sama, hanya tidak membawa bakul bambu.
Sepasang mata yang lembut, menatapku lurus. Sesaat aku hanya bisa diam membisu, dan berdiri kaku di depannya. Entah mengapa aku percaya pada gadis ini.
Temannya tiba-tiba berbisik. Membuyarkan tatapanku yang sulit aku pindahkan ke arah lain. “Cepat, Tin. Kita harus segera pulang.”
Gadis itu tergagap. Lalu segera menunjuk ke satu arah.
“Mas ikuti saja jalan setapak ini, nanti akan bertemu dengan jalan kecil yang menuju kampung penduduk.”
Beni mengangguk lega, dan cepat-cepat mengucapkan terima kasih. Sedangkan aku sekali lagi mencuri pandang ke arah gadis tanggung itu.
“Kami harus pulang sekarang, Mas.” Lagi-lagi teman gadis itu mengingatkan.
“Tunggu!” seruku tiba-tiba.
Kedua gadis yang baru saja membalikkan badan itu menoleh.
“Terima kasih banyak. Boleh Mas Restu tahu namamu?”
Gadis itu tampak terkejut, begitu pula temannya. Setelah beberapa detik, gadis tanggung itu menatapku ragu sambil berbisik lirih. “Tini.”
Tak lama kemudian dua gadis tanggung itu berjalan ke arah semak, lalu dalam sekejap, hilang dari pandangan kami.
Komentar
Posting Komentar