HATI YANG TERSESAT 2
HATI YANG TERSESAT 2
Penulis : Lidwina Ro
“Mengapa tiba-tiba langit gelap, ya, Res? Seperti mau turun hujan saja.” Beni mendongak agak heran, memperhatikan awan kelabu yang bergerak amat cepat, saling menggumpal. Sesekali terdengar gemuruh di atas sana. Aku ikut mendongak. Yang dikatakan Beni memang benar. Tapi bukan awan kelabu itu yang membuatku khawatir. Melainkan ... masih bisakah kami berdua mengenali jalan setapak jika tiba-tiba turun hujan nanti?
Benar saja. Gerimis halus sudah mulai turun. Dengan kerlingannya, Beni mengajak kembali meneruskan perjalanan yang masih harus kami lalui untuk menuju perkampungan di kaki gunung Batu.
“Semakin gelap, Res. Apa kau masih ingat jalan setapaknya? Kau masih ingat?”
“Kita lurus saja, Ben,” sahutku singkat.
Gerimis yang tiba-tiba turun, sungguh di luar dugaan. Satu-satunya penerangan langit di siang hari yang menjadi andalan, kini terganggu karena mendadak berubah berwarna kelabu. Sambil merapatkan jaket, aku menajamkan mata, mencoba mengingat-ingat kembali jalan setapak pertama kali yang membawa kami ke puncak gunung Batu tadi.
Meskipun hanya gerimis, disertai langit kelabu, ternyata tidak mudah untuk mengenali jalan setapak yang awal tadi. Aku perlu beberapa kali berhenti, dan mencoba mengenali pepohonan sekitarku. Semakin berjalan mengikuti naluri, semakin aku tidak yakin pada diri sendiri.
Beni dan aku menghentikan langkah, saat kami melihat ada dua jalan setapak kembar di depan mata.
“Res? Apa-apaan ini? Bukankah tadi kita tidak pernah melalui jalan yang seperti ini?” bisik Beni dengan gusar.
Aku menghela napas kasar. Yang dikatakan Beni memang benar. Jadi kesimpulannya, pasti kami sedang tersesat!
“Jadi kita lewat yang mana ini, Restu?” desak Beni sambil menoleh, menatapku meminta pertimbangan. Aku menggeleng lesu. Benar-benar tidak tahu harus memilih yang mengarah ke kanan atau yang ke kiri.
Mataku berkeliling ke sekitar, mencoba mencari petunjuk.
“Res, lihat ini! Ada jejak kaki binatang yang mengarah ke kanan.”
Aku cepat-cepat berjongkok, dan memperhatikan temuan Beni dengan saksama.
“Kita ke kanan?” bisik Beni sambil melirik jalan setapak ke arah kanan.
Aku berdiri. Menyipitkan mata, mengikuti arah pandangan Beni ke arah jalan setapak kanan, yang dipenuhi rimbunan dedaunan liar. Tidak mungkin memutar balik, dan mencari jalan setapak awal. Tetapi untuk memutuskan ke arah mana jalan setapak kembar ini, aku juga tidak berani gegabah. Yang kanan atau yang kiri, aku harus cepat memutuskan sebelum hari benar-benar gelap. Kalau sampai salah memilih, bisa fatal karena akan membuang-buang waktu. Karena itu aku kami harus tepat memilih jalan setapaknya. Sudah tidak ada waktu lagi. Senja akan mengantar malam.
“Restu, lihat itu! Bukankah mereka dua gadis yang tadi?” Beni menginjak kakiku, sementara matanya melotot tak percaya ke arah jalan setapak sebelah kiri. Buru-buru aku mengikuti arah pandangan Beni.
(Bersambung)
Cikarang, 11.04.23
Komentar
Posting Komentar