HATI YANG TERSESAT 1
HATI YANG TERSESAT
Penulis : Lidwina Ro
“Mengapa rambutannya tidak manis?” tanya Beni sambil menatap lurus seorang gadis tanggung penjual rambutan di tepi hutan yang berjalan beriringan bersama temannya itu.
Masih mengunyah rambutan, Beni menaikkan alis. Sekilas aku melihat, tampak sudut mulut Beni menahan senyum, melihat penjual rambutan yang agak ketakutan, dan mulai salah tingkah itu.
“Harus ganti rugi ini, ya, Neng!”
Aku yang sedang menikmati rambutan, seketika menoleh. Hei! Mengapa curut itu malah mempermasalahkan rasa rambutan yang gak terlalu penting ini, ya? Benar, rambutannya memang tidak terlalu manis. Tapi bukankah rambutannya cukup lumayan juga sebagai pengganjal perut?
Gadis tanggung yang mungkin masih belasan tahun itu, menatap ragu Beni. Tangannya saling meremas gelisah.
“Bo-boleh, Mas. Silakan. Ambil saja rambutannya yang Mas suka. Masih banyak ini.”
“Siapa bilang aku minta ganti rugi rambutan?” Beni mendelik, lalu mendekati gadis tanggung yang langsung wajahnya berubah panik itu.
Segera gadis itu mengambil jarak dengan memundurkan tubuhnya. Sepasang matanya yang indah, mulai berkaca-kaca. Sementara temannya juga ikut bingung.
Tanpa peringatan, tanganku pun refleks menimpuk kepala Beni dengan kulit rambutan yang kuambil sekenanya di sekitarku. Beni mengaduh, dan menoleh ke arahku sambil tertawa lepas.
“Apa-apaan kau Ben! Ayo kita lanjut turun sekarang juga!”
“Dasar, kau Res! Selalu tidak senang kalau melihat orang lagi senang!”
Aku menyeret Beni menjauh dari gadis itu. Melihat wajah putih cantiknya sedikit pucat, aku menjadi khawatir juga. Beni memang dari dulu hobi menjaili siapa saja. Tidak pandang bulu.
“Jangan di masukkan hati, Dik. Temanku ini hanya sedang bercanda saja. Oke?”
Gadis tanggung berbaju sederhana dan temannya itu mengangguk tergesa. Ada perasaan lega terpantul jelas di ke dua mata mereka.
“Mau hujan sebentar lagi, Dik. Sebaiknya kau beresi daganganmu, dan segera pulang,” ujarku lagi, sambil menunjuk ke atas langit. Entah mengapa tiba-tiba angin berembus dingin, dan awan menjadi gelap, seolah-olah akan turun hujan.
“Di mana rumahmu?” tanyaku.
“Dekat situ, Mas.”
“Cepat pulang, sebelum kehujanan.”
Temannya menarik lengan gadis itu. “Ayo, Tin.”
Gadis itu lalu buru-buru membetulkan ikatan kain selendangnya dan cekatan mengikat erat bakul berisi penuh rambutan.
Aku mengulurkan selembar uang sebagai ganti dua ikatan rambutan. Tetapi dua gadis itu menggeleng dan bergegas pergi begitu saja.
“Eh, Dik! Uangnya!” seruku mencoba menghentikan langkah mereka. Sayangnya, mereka tetap menggeleng, dan melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan setapak yang entah kemana.
“Kau tidak tanyakan namanya, Res?” bisik Beni.
“Kenapa aku harus menanyakan namanya? Apa itu penting?”
Beni tertawa. “Apa kau tidak merasa ada yang aneh pada gadis itu, Res?”
“Aneh apanya? Justru kau yang aneh, Ben. Tidak bisa diam kalu sudah ketemu yang bening-bening!”
Beni makin tertawa keras. Setelah menghabiskan rambutan, aku dan Beni melanjutkan perjalanan. Sudah waktunya kami berdua turun gunung.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar