BIS SILUMAN
BIS SILUMAN
Penulis : Lidwina Rohani
Keningku berkerut saat tiba-tiba dari kegelapan, sebuah bus melambat dan berhenti tepat di depanku. Bis Gareng rupanya. Sebuah bus tanggung dengan penumpang yang lumayan penuh. Sang kenek menyembulkan kepala, sambil melambaikan tangan.
“Jombang, Mbak?”
Aku tertegun. Padahal aku tidak merasa mencegat bus itu. Tetapi kenek itu seperti paranormal yang tahu saja tujuanku. Dengan gesit tas ranselku sudah diangkut masuk ke dalam bus. Mau tak mau aku mengikutinya.
Pengap menyergap saat aku duduk di kursi bus baris pertama dekat jendela. Aroma aneh dan asing yang tidak pernah aku hirup seumur hidup, seperti berputar-putar mengelilingiku. Aku mencoba melirik seorang ibu yang pulas tertidur di sebelahku. Dia memangku anak perempuan berumur tiga tahunan yang sudah menguap beberapa kali. Anak itu memegang erat boneka barbie tiruan dari plastik. Di seberang kanan kursi, dua penumpang lelaki juga tampak tertidur.
Bus kembali melaju. Halus dan mulus. Sopirnya lihai mengemudi, pantas saja penumpang terkantuk-kantuk tidur. Padahal belum terlalu malam.
“Jombang , ya, Mbak?”
Aku mengangguk. Meremang saat melihat mata kenek yang datar, dan ... dingin.
Di luar jalanan tidak seperti biasanya, tampak lengang dan gelap. Bahkan aku tidak mampu melihat tiang-tiang lampu di sepanjang jalanan. Tidak ada pengendara sepeda motor, juga tidak ada mobil pribadi yang biasanya ramai, saling menyelip. Pemandangan di depan menjadi menjemukan. Menarik lembut kelopak mata yang tiba-tiba berat.
Sepertinya ada yang ganjil. Tetapi apa? Bus juga tidak berhenti lagi mengambil penumpang. Mengapa semua begitu aneh? Sopir bus ini seakan mengemudikan permadani terbang di malam hari. Lurus, kencang, dan mesinnya nyaris tak terdengar. Tak ada apa pun di depan. Tak ada guncangan. Yang ada hanya serangan kantuk.
“Kalau mengantuk tidur, Mbak.”
Aku tersentak. Bagai diingatkan kembali, kalau aku termasuk orang yang sulit tidur. Jadi ada apa dengan diriku yang tiba-tiba ketularan ingin tidur?
Anak di sebelahku menguap lagi, menatap aku dengan gelisah. Entah ada apa dengannya, mengapa tidak menyusul ibunya yang sudah terlelap? Aku mencubit gemas lengan anak itu.
Tetapi tanganku membeku di udara. Lengan anak itu sedingin sorot matanya yang gelisah seakan-akan ingin berbicara.Tapi apa? Ah, aku tidak mengerti. Dan kantukku perlahan hilang.
Anak perempuan itu tiba-tiba merengek, menggeliat dalam dekapan ibunya. Boneka plastiknya terjatuh. Aku membungkuk memungutnya. Saat itu pula aku mencium bau anyir luar biasa, bersamaan dengan suara gaduh, jeritan, pekikan ketakutan. Bus juga terasa oleng ke kiri.
Aku ikut menjerit, sederet doa segera kurapalkan ketika tiba-tiba mataku menjadi gelap.
***
“Mbak! Mbak!”
Beberapa tangan mengguncang bahuku. Dengan linglung aku membuka mata, dan mencoba mengingat-ingat. Heran! Mengapa aku sekarang duduk di terminal Jombang? Apakah aku pingsan? Melihat ranselku, aku lalu teringat semuanya. Aku tidak terluka. Tubuhku tidak ada yang sakit.
“Di-di mana bus itu?”
“Bus apa, Mbak?
“B-bus Gareng 404...”
Beberapa orang menahan nafas, menatapku ngeri. Sebagian lagi berbisik-bisik. Wah! Ada apa ini?
“Mbak beruntung, baru saja lolos dari bus siluman itu. Bus Gareng 404 terguling lima tahun yang lalu. Semua penumpangnya tewas. Dan memang bis itu sampai sekarang masih berkeliaran mengganggu penumpang.”
Aku membeku.
Dan aku memekik keras ketika tiba-tiba sebuah boneka barbie plastik terlepas dari genggamanku.
***
Cikarang, 08.04.23
Komentar
Posting Komentar