RAPUH
RAPUH
Penulis: Lidwina Ro
Perjumpaanku dengan Surti sebenarnya hanya suatu kebetulan. Wanita yang pernah merantai hatiku di masa lalu itu, ternyata masih punya sengat yang cukup kuat, sehingga membuat dopaminku bergolak.
Sebagai lelaki yang mapan dan stabil, kukira perjumpaanku dengan Surti adalah sebuah dejavu kecil yang menyenangkan. Ajaibnya, hatiku menolak untuk kompromi. Ternyata rasa cintaku yang lama, hanya mengendap di dasar hati saja. Tidak mati.
Di mataku Surti tidak berubah sedikit pun setelah tahun-tahun mengubahnya menjadi seorang wanita dewasa. Bagiku Surti masih seperti dulu. Seorang yang lembut, suka mengalah, sabar, dan selalu bisa menenangkan hatiku. Sifatnya yang pengalah itu juga lah yang membuatku dan Surti dulu harus terpisah. Karena tidak mungkin bagi Surti untuk berani melawan orang tuanya. Lagi pula orang tua Surti tidak pernah menyukaiku karena aku selengekan dan produk perceraian. Mereka lalu memaksa Surti menikah dengan lelaki terbaik versi mereka.
“Terima kasih sudah kau antar pulang, Mas.”
Suara lembut Surti segera menyadarkanku. Segera kuraih lengannya sebelum dia sempat turun dari mobilku.
“Tunggu dulu, kau sudah mempertimbangkan perkataanku?”
Surti menoleh. Matanya yang lelah terlihat mengantuk. Surti menatapku bingung.
“Tolong, keluarlah dari pekerjaanmu itu.”
Surti terdiam, lalu perlahan mulai tertawa kecil. “Mengapa? Aku, kan, hanya menyanyi di kafe itu. Aku ini penyanyi. Tidak lebih. Lagi pula aku janda yang harus menghidupi anakku. Mana mungkin aku mengundurkan diri?”
“Bukankah aku sudah sering bilang, aku bisa menempatkanmu di kantor cabangku, Surti. Aku tidak rela kamu bekerja di situ.”
“Aku tidak mau merepotkanmu, Mas. Atau menarik perhatian karyawanmu, atau yang lain. Aku nyaman bekerja di kafe itu. Aku tidak apa-apa.”
“Kau tidak percaya kalau aku masih bisa mengurusmu dan bahkan anakmu?”
Belum sempat Surti membuka mulut untuk membela diri, dering ponselku berbunyi. Aku menatap sebentar nama yang muncul di layarnya, lalu memasukkan kembali ke dalam saku celanaku.
“Itu istrimu, bukan? Sudah pulanglah. Jangan buat dia khawatir.”
Surti segera membuka pintu mobil, melambaikan tangan padaku, sambil tersenyum manis. “Sudahlah, Mas. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Aku tidak serapuh dulu lagi.”
Aku menghela napas berat. Kesal melihat Surti berjalan menuju rumahnya, tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku hanya bisa menatap punggungnya dengan pikiran dan rencana yang tak masuk akal. Apakah sekarang tidak ada sedikit pun cinta yang tersisa di hati Surti? Setetes saja apakah tidak ada? Mustahil! Aku tidak percaya!
Ketika Surti sudah lenyap dari pandangan mataku, baru aku putar balik mobilku, dan pulang.
Surti mungkin sudah berubah. Perjalanan hidupnya yang berat dan terjal, mungkin sudah mengajarinya banyak pengalaman hidup yang berharga. Surti boleh saja menganggap dirinya kuat, dan baik-baik saja, tetapi aku tetap saja tidak rela dirinya menyanyi tiap malam di kafe itu.
Masalahnya, mengapa justru hatiku yang tidak baik-baik saja? Tuhan, mengapa justru sekarang hatiku yang malah mulai rapuh?
Cikarang, 040323
Komentar
Posting Komentar