MY MEMORY (3)


MY MEMORY (3)

Penulis : Lidwina Ro 


Aku pun menggeleng sambil tertawa geli. Maklum.

“Bukan, Mbak. Bukan! Anda salah oeang. Dia ini Om-ku. Memang semua anak tunagrahita hampir mirip semua wajahnya, Mbak. Memang ini aneh, kan, ya? Tapi begitulah realitasnya.”

Wanita yang mungkin adalah tetangga lurah desa sebelah itu terkejut. Dia sontak melepaskan pegangannya pada Om Totok, dan segera meminta maaf.

“Oh, maaf, maaf, Bu. Saya tidak tahu. Ternyata begitu, ya?” Dengan sedikit bingung, dia menyeringai malu, sambil menatap Om Totok dari atas sampai bawah.

“Wah, mirip sekali,” gumamnya keheranan.

***

Meskipun tidak ada hubungan darah sama sekali, dan sering membuat ulah, kami sekeluarga sangat menyayangi Om Totok. Meskipun kadang sulit memprediksi apa yang ada di pikirannya, dan apa yang akan dilakukannya, kami semua tetap berusaha memberi yang terbaik. Terkadang tidak mudah, tetapi hanya kami satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang.

 Kalau sedang merasa kesal, Om Totok juga sering minggat diam-diam. Aku dan anak-anak sangat khawatir. Kami pun segera mencarinya ke mana-mana. Bertanya pada tetangga, juga bertanya orang-orang yang tidak kami kenal di jalan sambil menyebutkan ciri-ciri Om Totok. Tak ketinggalan suamiku mencarinya juga dengan sepeda motor mengelilingi sudut-sudut perumahan kami.

Aku dan anak-anak baru lega ketika motor datang dengan membawa sosok yang menempel mesra penuh senyum, di balik punggung suamiku, seolah tidak punya salah apa-apa. Gemas sekali rasanya melihat wajah innocent seolah tak berdosa itu. Hm, pasti suamiku sudah berhasil menyogok dengan membelikannya cilor, supaya mau pulang! Entah di mana suamiku menemukannya.

Begitulah hidup bersama seorang tunadaksa yang ngeri-ngeri sedap. Banyak suka dan duka silih berganti menemani. Semua itu aku jalani dan terima dengan ikhlas, sampai di akhir Om Totok menutup mata karena sakit.

Tidak ada seorang pun yang tahu mengapa takdir memilih Om Totok menjalani skenario itu. Yang aku yakini, Om Totok sudah menyudahi pertandingannya dengan baik selama berada di dunia ini.

Di surga sana, dia pasti akan menjadi manusia sempurna yang sehat. Yang normal. Tidak kurang satu apa pun juga. Dia juga pasti menerima kasih sayang abadi, diiringi tarian rebana para malaikat.

Yang menjadi pertanyaanku adalah, apakah kelak jika suatu saat nanti bertemu kembali, apa aku bisa mengenali wajah dan tubuhnya yang sempurna di surga sana?

(Selesai)


Cikarang, 180323

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU