MY MEMORY (2)
MY MEMORY (2)
Penulis : Lidwina Ro
Namanya juga seorang tunagrahita, pasti banyak kekurangan. Penyandang tunagrahita adalah anak yang mempunyai inteligensi di bawah rata-rata anak normal seusianya, sehingga mengakibatkan gangguan atau ketidakmampuan adaptasi perilaku, perkembangan belajar, sosial, penalaran, juga kemampuan hidup. Mereka biasanya tidak bisa hidup mandiri, seperti orang normal lainnya. Mereka selalu membutuhkan pertolongan orang lain, bahkan bergantung pada orang lain. Di tambah lagi, biasanya mereka sulit berbicara, sering bercerita melantur, dan apa yang ada dalam pikiran dan tindakannya sering kali tidak dapat dimengerti.
Seperti sekarang ini. Diam-diam aku mengintip ke dalam kamar Om Totok. Aku tercengang. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadaranku kembali ke titik awal. Bagaimana tidak? Ternyata dia biang keroknya, yang mengambil semua pulpen Sandra. Satu demi satu pulpen baru Sandra itu dipereteli, menyisakan bagian batang pulpen yang panjang, lalu dia meniupnya sehingga mengeluarkan bunyi seperti peluit. Ketika suara dari batang pulpen berhasil terdengar setelah ditiup, maka tertawa senang dia. Di sampingnya juga tergeletak tali yang disambung-sambung memanjang. Oh, ya, ampun! Jadi di sinilah semua barang-barang rumah yang hilang. Tali guling, tali goody bag, juga tali gaunku! Ya, ampun!
“Om Totok, kok, belum tidur?” sapaku sambil membuka pintu kamar lebih lebar.
Mendengar suaraku, Om Totok yang membelakangiku, buru-buru menjejalkan semua mainannya di bawah bantal, lalu segera merebahkan badan, tak lupa menarik selimut sampai ke ujung kepalanya. Memejamkan mata rapat -rapat, dan tidak bergerak lagi. Hm, pandai berakting juga dia!
Ke mana pun kami bepergian, ke mal misalnya, atau berlibur ke luar kota, Om Totok selalu aku bawa. Dia sudah menjadi bagian dari keluargaku. Sekali-kali aku juga mengajaknya ke pasar sebelah rumah, berbelanja sayuran. Tiba-tiba seseorang wanita menggamit lengan Om Totok, hendak mengajaknya pergi. Seperti biasa Om Totok hanya bisa melongo, menoleh ke kanan kiri dengan wajah sangat bingung.
“Eh, eh ... mau dibawa ke mana, Mbak?” Aku menarik kembali lengan Om Totok. Kali ini sambil menggeleng dan menahan senyum.
“Loh, bukankah dia anak pak lurah desa sebelah? Kenapa jauh sekali mainnya sampai pasar? Pasti keluarganya kebingungan mencari dia.”
(Bersambung)
Cikarang, 170323
Komentar
Posting Komentar