KETIKA BISU
KETIKA BISU
Penulis : Lidwina Ro
Ketika hendak ke dapur, dan melewati kamar paling sudut, sejenak langkahku terhenti. Serasa ada magnet di depan pintu kamar yang dipenuhi dengan stiker kesebelasan sepak bola dari manca negara itu. Beberapa menit kemudian aku memberanikan diri membuka pintunya perlahan. Ketika bisu dan kelu menjajah hati, aku memutuskan untuk mencari sedikit kehangatan sebagai peredam nyeri. Lalu sebuah senyum merekah pun menantiku di sana.
“Apa tidak bisa kau taruh handuk di tempatnya, Vino?” Aku berkacak pinggang menatap handuk basah yang dilempar sembarangan di atas ranjang.
Vino anakku menoleh, dan cengengesan melihat ekspresi wajahku. Senyuman jahilnya seperti biasa meluruhkan hatiku.
“Duh, gitu saja Mamah ngambek. Nanti cantiknya hilang.”
Pandai merayu! Persis papanya.
“Kenapa hari ini pulangnya sore?” tanyaku menyelidik.
“Biasa, Mah. Sepak bola dulu.”
“Kan, sudah sering Mama bilang. Pulang sekolah pulang. Lalu makan dulu. Lah, tadi apa Vino sudah makan siang?”
Vino kembali cengengesan. “Sudah, Mah. Tadi rame-rame sama teman beli gorengan di lapangan. Sama beli es teh.”
Aku melotot. Antara kaget dan gemas. Rasanya ingin menjewer telinga Vino. Tetapi aku terlalu sayang pada anak nakal ini.
“Ya, ampun, Vino. Mama sudah bilang, jangan jajan sembarangan. Apalagi gorengan yang dijual di tempat terbuka. Kalau perutmu sakit bagaimana? Mulai besok tidak boleh main sepak bola lagi.”
“Ah, Mamah mesti gitu. Apa-apa mesti dilarang.”
Dengan segenap cinta aku segera memeluk Vino. “Mama hanya takut Vino terlalu capek. Nanti kalau sakit lagi bagaimana?”
“Vino tidak akan sakit lagi, Mah. Vino janji!”
Tak sadar aku mengepalkan tanganku yang gemetar. Vino benar. Anakku itu memang tidak akan pernah sakit lagi. Leukimia sudah berhasil mengalahkannya, sekaligus mengirimnya ke surga. Bukankah di surga tidak ada ratap tangis dan kesakitan lagi? Tetapi ... mengapa hati seorang ibu ini, terasa sakit sekali?
Ketika semua ruang menjadi bisu, tak lagi ramai lagi oleh celotehnya, ya, Tuhan ... mengapa tiba-tiba aku ingin sekali lagi mendengar suara Vino?
“Sayang?” Sebuah tangan kekar memeluk bahuku lembut dari belakang. Aku menoleh kaget. Tersadar. Dengan lembut suamiku menghapus pipiku yang basah.
“Kau di kamar Vino rupanya. Kangen dengan Vino, ya? Besok pagi kita ziarah, mau? Papa juga sudah kangen padanya.”
Di atas dada suamiku, tangisku pun pecah.
Cikarang, 060323
Komentar
Posting Komentar