KAMAR TIGA BELAS


 KAMAR TIGA BELAS

Penulis : Lidwina Ro


“Tidak apa-apa, Mbak. Aku ambil kamar tiga belas,” ujarku ringan, pada resepsionis, yang tampak terkejut itu. Yuli membelalakkan mata tak percaya. Lilis melongo. Sedang Rosa menggeleng tak setuju.

“Mau bagaimana lagi? Kamar tinggal satu. Apa kalian mau, kita tidur berempat?” Aku mengaduh saat Yuli menggebuk keras bahuku. Gila. Makan apa sepupuku itu? Tenaganya super sekali.

“Kita cari penginapan lain saja,” usul Rosa lembut.

“Tidak perlu Ros, aku sudah capek menyetir mobil. Aku mau segera tidur saja. Di luar hujan deras, dan gelap,” tolakku sambil menatap resepsionis sambil menadahkan tangan. Minta kunci kamar.

“Tapi, Mas, kamar itu ....”

“Angker? Aku hanya mau tidur, Mbak. Bukan ikut uka-uka.”

Di depan Rosa -yang diam-diam kutaksir- aku tidak boleh terlihat lembek. Apa pun mitos yang beredar itu. Lagi pula, aku sudah capek, dan ngantuk berat. Besok pagi aku masih harus mengantar para gadis itu menikmati kawah.

Baru beberapa jam tertidur, aku mendengar ketukan di pintu. Mengira hanya mimpi, kutarik lebih tinggi selimutku sampai ujung kepala. Tapi ketukan itu membuatku terjaga lagi.

“Eh? Cari siapa, adik kecil?” tanyaku heran saat melihat ada seorang anak perempuan kecil berdiri di muka pintu kamarku. Tangannya membawa boneka beruang. Kelihatan bingung dan hampir menangis.

“Lupa kamarmu, ya? Di mana bapak-ibumu?”

Anak itu menggeleng pelan. Kuraih tangan anak perempuan itu sambil celingukan mencari pintu, berharap ada satu pintu yang terbuka. Tapi sayangnya pintu kelihatan tertutup semua.

“Siapa namamu, Dik?”

“Anita, Om.”

“Baiklah Anita, kamu tunggu sebentar di sini, aku tanya sama resepsionis di depan. Oke?”

Resepsionis malah diam membisu saat aku bercerita tentang Anita, dan meminta tolong agar Anita di antar ke kamar orang tuanya.

“Mbak? Kok diam? Kasihan dia nanti lama menunggu.”

“Anak itu memegang boneka beruang, kan?”

“Kok, Mbak tahu?”

Setelah beberapa detik menarik napas dalam-dalam, resepsionis itu bergumam lirih. “Biarkan saja dia menunggu. Nanti dia juga tahu jalan pulang sendiri.”

“Maksud Mbak apa, ya?”

“Dia sudah meninggal, Mas. Setahun yang lalu. Covid. Di kamar tiga belas. Dia selalu menampakkan diri jika kamarnya itu dipakai orang.”

Tengkukku meremang hebat. Seketika tubuhku membeku. Kini ganti aku yang diam membisu.


Cikarang, 130323

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU