DIANDRA
DIANDRA
Penulis : Lidwina Ro
Pukul satu malam, aku terjaga. Lagi-lagi aku mendengar suara tangisan tertahan di kamar kontrakan sebelahku. Ah, berhalusinasi kah aku? Mengapa aku sering mendengar suara isak tangis anak kecil?
Aku memang baru sebulan tinggal di kontrakan ini. Seingatku, tetangga sebelahku adalah sepasang suami istri muda dengan dua orang anak. Aku sering melihat anak sulungnya diantar sekolah di pagi hari oleh bapaknya. Sesekali sepulang kerja, aku melihat ibunya menyuapi bayinya. Terkadang dia menyapaku ketika malam menjelang. Entah ke mana dia berdandan cantik dengan riasan tebal.
Sepertinya mereka baik-baik saja. Aku tidak melihat hal yang ganjil, sampai suatu hari aku baru menyadari, kalau Diandra -anak sulung mereka- seeing berwajah murung setiap kali berangkat ke sekolah.
“Halo Diandra? Sekolah, ya?” sapaku di suatu pagi, ketika aku akan berangkat kerja ke pabrik garmen. Aku menyukai anak pendiam itu. Selain manis, imut, dia juga lugu. Aku sering membawakannya martabak atau kue pukis untuknya.
“Iya, Tante,” angguknya sopan. Sepasang matanya yang bulat menatapku lekat beberapa detik dengan mulut terbuka, seakan-akan mau mengatakan sesuatu.
Mataku langsung tertuju pada lebam biru kecil di lengan kanannya. Sontak batinku gelisah.
Belum sempat aku menenangkan pikiranku, bapaknya tak sabar menarik kasar lengan anaknya, untuk dibonceng sepeda motor. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar.
Bu Surti tetangga sebelah kamarku yang kiri -yang sedang menyapu- kudengar mengomel lirih. “Kasihan anak itu, Mbak. Tidak disayang bapak tirinya.”
Aku menoleh kaget. “Apa? Diandra itu anak tiri?”
“Lah, memang iya. Lelaki itu, kan, suami ke dua dari Jeng Titik.”
“Suami pertamanya ke mana?” bisikku.
“Jangankan saya, Mbak. Jeng Titik juga pasti bingung siapa bapaknya Diandra. Lah wong dia kerjanya di karaoke,” sahut Bu Surti mencebik, lalu masuk ke dalam kontrakan sambil mengangkat bahu. Aku hanya terdiam.
Keesokan paginya, ketika aku hendak pergi bekerja, tiba-tiba Diandra menghampiriku. Sambil mengunci pintu, aku tersenyum. “Loh, Diandra tidak sekolah?”
Diandra mendongak sambil memegang tanganku. Mataku menelisik cepat. Sekarang ada lebam biru di sudut mulutnya. Dadaku bergemuruh. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Diandra? Belum sempat aku bertanya, anak kecil itu berjinjit dan berbisik.
“Maukah Tante mengadopsiku?”
Komentar
Posting Komentar