DIAM
DIAM
Penulis : Lidwina Ro
“Mengapa kau kemarin diam saja?” cecarku sengit kepada Raga, setelah berada dalam mobil Raga Ini untuk pertama kalinya aku meminta dijemput, meskipun aku sudah lama mengenal Raga. Raga adalah teman kecilku.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah tertawa geli. Santainya Raga menanggapi protesku membuat aku jadi semakin kesal.
“Asem! Kau minta dijemput untuk membicarakan ini, Ra?” Masih tertawa, Raga menggelengkan kepalanya.
“Pertunangan ini bukan permainan, Raga!”
“Yang main-main siapa? Aku tidak main-main.” Sekilas Raga menatap tajam. Hatiku berdesir menerima tatapan itu. Selalu begitu.
Aku membalas mendelik. “Kau, kan, sudah punya pacar. Mengapa kau diam saja kemarin, dan tidak mengatakan terus terang keadaan yang sebenarnya pada kakekku?”
“Tapi kau, kan, tidak punya pacar?”
Aku melongo, lalu melengos malas. Laki-laki ini! Selalu saja punya jawaban tak masuk akal. Punya pacar atau tidak, bukankah itu urusanku? Tetapi Raga sudah punya pacar. Bisa-bisanya Raga dengan enteng menyanggupi perjodohan ini.
“Kamu sendiri, mengapa diam kemarin?” tanya Raga.
Aku tidak berkutik. Kemarahanku perlahan-lahan surut. Bayangan wajah kakek dan nenekku silih berganti melintas di pikiranku. Sejak orang tuaku meninggal dalam kecelakaan, aku memang diasuh oleh kakek nenek. Aku sangat menyayangi mereka, dan tidak ingin sekalipun menyakiti mereka.
“Tolong batalkan rencana pertunangan ini, Ga. Setelah lulus kuliah, aku masih ingin bekerja dan membahagiakan kakek-nenek.” pintaku lirih pada Raga. Meskipun selama ini aku nyaman berteman dengan Raga, tetapi aku harus menjaga diri. Tentu saja juga menjaga dan melindungi hatiku sendiri, agar tidak terluka nantinya.
“Kau bisa melakukan itu, Ara, meskipun sudah bertunangan denganku. Ingat, orang tuamu masih punya saham di perusahaan papaku.”
“Tapi kita tidak perlu bertunangan, kan?”
“Perlu.”
“Mengapa?”
Raga menatap lama. “Karena aku mencintaimu, Ara. Itulah sebabnya aku kemarin diam, dan setuju dengan pertunangan kita.”
Seketika tubuhku membeku, tetapi hatiku melompat-lompat riang.
“Lalu pacarmu?” tanyaku mengungkit.
“Melani? Dia sepupuku. Aku hanya ingin mengujimu. Tidak aku sangka kau begitu sengit. Bukankah artinya hati kita sama-sama menyukai?”
Raga tergelak. Aku sangat malu sekali. Wajahku pasti sudah sewarna dengan pelangi. Mejikuhibiniu.
Cikarang, 050323
Komentar
Posting Komentar