BAYANGAN (2)


BAYANGAN (2)

Penulis : Lidwina Ro 


Sementara Bapak masih menatap lekat, Aila menggeser duduknya lebih dekat pada bapaknya. Dia memeluk lembut lengan kekar Bapak, sambil mencoba menata kata.

“Pak.”

“Hm?” Bapak mengelus rambut Aila.

“Benar Aila tidak punya saudara lagi?”

“Hanya Aila anak Bapak satu-satunya sebelum Bapak menikah lagi. Ada apa?”

Melihat sorot mata Bapak yang teduh, Aila yakin Bapak berkata yang sesungguhnya. Aila pun mencoba tersenyum, tidak mencoba bertanya dan mendesak bapaknya lagi.

 ***

Tetapi bayangan anak perempuan itu masih menampakkan diri di malam-malam tertentu. Kali ini seperti ada bayangan di belakang punggung Aila yang sedang mengerjakan PR. Aila bisa merasakan kehadirannya.

“Mengapa kau ke mari?” tanya Aila lirih, tanpa menoleh.

Tidak ada jawaban. Hanya bayangan itu bergeser, lebih dekat lagi ke arah Aila.

“Siapa kau sebenarnya?” Aila memberanikan diri menoleh. Benar saja, wajah anak perempuan itu hampir mirip seperti dengannya. Mata, hidung, bahkan rambut. Semua sama. Kecuali kulitnya yang sangat pucat.

“Sudah aku katakan kemarin, namaku adalah Ailin.”

“Mengapa wajahmu seperti aku?” Ailin tak dapat menyembunyikan rasa heran dan penasarannya lagi.

Anak itu tertawa kecil sambil menutup mulutnya. “Tentu saja, karena kita bersaudara.”

“Bohong. Kata Bapak aku tidak punya saudara.”

“Tentu saja, karena aku tidak sempat menghirup udara lebih lama lagi. Aku pergi dulu meninggalkanmu.”

Kening Aila berkerut. “Apa maksudmu meninggalkanku?”

Ailin kembali tersenyum. “Maafkan aku Aila, aku tidak bisa menemanimu. Napasku sesak sekali waktu itu. Aku tidak tahan lagi. Tetapi kau sudah mempunyai saudara lagi, kan? Kau tidak kesepian lagi sekarang.”

“Iya, ada adik Juwita.”

“Lalu mengapa kau kulihat sepertinya sering murung dan sering menyendiri, Aila?”

Aila terkejut. Alisnya berkerut dalam. Dia tidak menyangka Ailin mengetahui hal ini. Dari mana Ailin tahu? Apa dia memata-matainya?

“Jangan takut padaku. Kau bisa cerita apa saja padaku. Kita berteman, kan?”

Aila menunduk. “Aku hanya merindukan ibuku.”

Kemudian hening. Mata Aila jatuh pada lantai kamarnya yang berwarna krem muda. Perlahan pipinya hangat oleh air mata.

“Nanti aku sampaikan pada Ibu.”

Mata Aila membelalak keheranan. “Kau ... kau bisa?”

“Tentu saja bisa.”

“Bagaimana bisa?”

“Karena aku saudara kembarmu, Aila.”

(Bersambung)


Cikarang, 200323


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU