SETELAH SEWINDU


 SETELAH SEWINDU

Penulis : Lidwina Rohani


Jantungku seperti berhenti berdetak saat mendengar kabar dari Ibu, bahwa Rio mengalami kecelakaan. Seraut wajah jagoan kecilku itu melintas cepat di kepala, selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Hal terakhir yang aku ingat hanya kegelapan yang berputar-putar di sekeliling. Lalu kedua kaki yang lemas, tak mampu menopang kaki sendiri. Aku tiba-tiba ambruk di lantai.

Sepanjang perjalanan dari Bekasi menuju kota Surabaya -rumah Ibu- aku tidak bisa menghentikan isak tangis meskipun Mas Danang berusaha menenangkan aku. Mas Danang bilang, kondisi Rio sudah mulai stabil meskipun sempat kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi darah. Ah, andai saja permintaan Rio untuk berlibur ke rumah neneknya tidak aku kabulkan, mungkin Rio dan pamannya tidak  mengalami kejadian tabrak lari seperti sekarang ini. Ah, bodohnya aku. Ibu macam apa aku ini sehingga sampai tidak mendampingi anakku berlibur? 

Dengan langkah panik dan setengah berlari aku menuju kamar perawatan Rio. Kata Ibu beberapa saat yang lalu, Rio baru saja selesai menjalani operasi. Jadi belum siuman, karena masih berada di bawah pengaruh obat bius. Dari kaca kecil yang ada di pintu kamar, aku melihat beberapa dokter dan perawat sedang mengelilingi tempat tidur anakku. 

Ketika salah satu dari dokter tersebut menoleh ke arahku, darahku seolah membeku. Apalagi saat dokter itu tiba-tiba bergerak mendekati pintu dan membukanya perlahan. Berhadapan dengan sepasang mata cokelat yang tajam ini, rasanya aku ingin pingsan saja. Bagaimana mungkin aku harus bertemu dengan monster ini di rumah sakit? Di saat anakku sedang tergeletak tak berdaya pula!

“Ara, kau sudah datang.”

Huh! Masih ingat pula namaku! Sambil menenangkan debar jantungku, aku melewatinya begitu saja. Enggan menatap wajah tampannya, apalagi menanggapi ucapannya. Pokoknya ogah!

“Rio sudah melalui masa kritisnya. Dia akan segera membaik.”

Huh! Untuk apa dokter ini mengikutiku dari belakang? Masa tidak mengerti juga kalau aku tidak ingin dia ikut campur dengan keluargaku. Jangan mendekat, please.

“Mungkin dua puluh menit lagi, Rio akan siuman, Ra. Kau tunggu saja di dekatnya.”

Dengan gusar aku menatapnya sengit. Untuk apa juga dia mengaturku? 

Lelaki itu balas menatapku. Matanya teduh, meskipun sangat terlihat letih. Tidak ada pantulan rasa tersinggung di kedua mata cokelatnya. Yang ada hanya kilatan samar asing yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Ah, masa bodoh!

“Nanti kita harus bicara,” bisik lelaki itu sambil sedikit menunduk, mencari lubang telingaku, seolah ingin memastikan aku mendengar ucapannya dengan baik.

Aku membisu dengan pikiran buntu.

  ***

Cikarang, 13 Juli 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU