SERIN
SERIN
Penulis : Lidwina Ro
Aku sontak membuka mata saat mendengar suara menggelegar Mas Arga. Sambil menajamkan telinga, aku mencoba mengumpulkan ingatan. Rasa lelah dari siang tadi begitu menumpuk sehingga aku ketiduran saat menidurkan Satria. Aku mendengar Mas Arga membentak seseorang. Tetapi bentakan Mas Arga rupanya tidak ada tanggapan. Aku hanya menangkap suara kemarahan Mas Arga saja yang dominan tinggi, dan sampai kedengaran di dalam kamar tidur.
Ah! Ya, ampun! Itu pasti Mas Arga sedang mengomeli Serin yang baru pulang. Entah dari mana saja anak itu seharian. HP Serin mati sejak siang, sehingga aku sulit menghubunginya.
Buru-buru aku mencari sandalku, lalu keluar dari kamar tidur. Seperti biasa Mas Arga tak bisa mengendalikan emosinya. Semua pertanyaan bernada menyudutkan, tidak memberi kelonggaran pada anak yang masih duduk di bangku SMP itu.
“Ayah tidak mau ini terulang lagi, Serin! Kau dengar?”
Seperti biasa, anak SMP itu hanya menunduk jika dimarahi. Tidak menjawab sepatah kata pun. Tidak ada reaksi. Hanya mematung. Seperti tidak punya telinga. Hal ini membuat Mas Arga tidak senang. Ketika melihat Mas Arga melangkah mendekati Serin, aku cepat-cepat menarik lengan anak itu menjauh dari ayahnya. Tangan Serin terasa dingin dalam genggamanku.
“Kau kehujanan, Serin? Cepat ganti bajumu. Air panas sudah siap di dapur. Ambil sana, dan lekas mandi,” ujarku setengah mendorong tubuh anak itu ke arah dapur.
Sekilas Serin menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Sedetik aku menahan napas. Lalu mengangguk samar menyuruhnya pergi dari hadapan ayahnya yang sedang mengamuk.
“Aku belum selesai bicara dengannya, Dik,” desis Mas Arga tidak terima. Aku segera membalikkan badan, menahan lengan Mas Arga agar tetap di tempat sambil menggelengkan kepala.
“Besok saja bicaranya, Mas. Biar dia mandi dulu. Serin kehujanan, nanti malah sakit kalau tidak segera ganti baju,” bujukku sambil mengusap-usap lengannya, mencoba mencairkan emosinya.
“Anak itu semakin hari semakin membangkang, Dik Na.”
“Tidak, Mas. Mungkin dia hanya terjebak hujan di jalan atau di rumah temannya. Sudahlah. Mas ke kamar dulu lihat Satria. Aku akan memanaskan nasi buat Serin. Dia mungkin belum makan,” ujarku sambil tersenyum menenangkan.
“Kau jangan selalu membelanya, Dik Na.”
Komentar
Posting Komentar