SERIN (2)
SERIN (2)
Penulis : Lidwina Ro
Ya, aku mengakui, aku memang sering membela Serin. Aku sendiri tidak mengerti, mengapa selalu ada keinginan dalam hatiku untuk membela dan melindungi Serin, walaupun Serin memandangku sebelah mata. Tidak apa-apa. Dia hanya seorang bocah yang sedang terluka. Itu saja.
Serin terluka dan bingung karena kedua orang tuanya bercerai ketika dia masih SD. Kemarahannya semakin meningkat karena ibu kandungnya tidak mau membawanya. Pada akhirnya dia harus dititipkan pada orang tua Mas Arga di kampung sementara Mas Arga tetap melanjutkan bekerja di Surabaya.
Awalnya Mas Arga tidak setuju saat aku ingin memindahkan sekolah Serin di Surabaya. Tetapi melihat sepasang matanya yang dingin saat aku berkunjung di rumah mertua, seperti ada dorongan kuat di hatiku untuk membawanya ke kota. Aku seolah-olah pernah mengenal sepasang mata seperti mata milik Serin. Sepasang mata yang menjaga jarak karena takut terluka lagi.
***
Di luar ruang kelas Serin, aku membuka lagi buku rapor Serin. Melihat angka-angka rapor itu, aku tersenyum-senyum sendiri. Ternyata nilai rapor Serin meningkat tajam. Tidak sia-sia aku memangkas banyak jam mainnya, memantau ketat setiap hasil ulangannya, bahkan tak segan aku mendampinginya belajar. Selagi Mas Arga berkutat mencari uang sampai larut malam, aku juga berkutat mendekati dan membimbing pelajaran Serin dengan gigih, walaupun kadang-kadang Serin cemberut karena sudah mengantuk berat. Mau bagaimana lagi, aku hanya ingin mempersiapkan Serin sedini mungkin, demi memiliki masa depan yang baik. Anak ini harus bisa berhasil mengatasi masalah hidupnya.
(Bersambung)
Cikarang, 30 Juli 2022
Komentar
Posting Komentar