IKATAN BATIN (3)


IKATAN BATIN (3)

Penulis : Lidwina Ro

Ah, sudah enam tahun berlalu, mengapa wanita yang tidak berikatan darah denganku itu masih saja ingin melihatku? Mengapa Tuhan? Tanganku sedikit bergetar ketika aku menekan bel. 

Mas Bayu yang membukakan pintu. Aku sedikit kaget. Sesaat aku larut dalam sorot matanya yang tidak ingin aku terjemahkan lebih jauh. Apa yang terjadi sesungguhnya, aku sudah tidak peduli lagi. Seribu tanya yang tidak pernah terjawab di antara kami, sudah berhasil aku endapkan ketika Mas Arda hadir dan bersikeras menyeretku ke taman berwarna penuh kehangatan yang nyata. 

Suara kursi roda yang mendekat segera mengalihkan pandanganku. Aku menghambur ke pelukan wanita tua itu, menumpahkan rindu yang kubelenggu sendirian selama ini. 

“Lisia ... Lisia, ke mana saja kau.” Mama menciumiku dengan mata berkaca-kaca. 

“Mamah!” seruku tak kalah haru dan cengeng. Kurengkuh tubuh renta yang semakin kurus itu. Entah apa yang terjadi, yang aku rasakan hanya bahagia bisa berada dalam pelukan Mama. Mantan mertuaku. 

Mbok Darmi seperti biasa mengusap air matanya diam-diam di pojok ruangan. 

“Siapa dia?” Tiba-tiba Mama menjulurkan leher, matanya lurus menatap ke pintu dengan kening sedikit berkerut.

Aku menoleh. Tampak Mas Bayu sedang berbicara dengan Mas Arga yang sedang menggendong Bagas. Oh, ternyata bayiku menangis mencari aku. Jadi Mas Arda menyusulku.

“Dia ... Mas Arda, suamiku, Mah.”

“Itu, yang di belakang suamimu, Lis,” ujar Mama sambil menunjuk ke arah Mas Arda.

Aku menoleh lagi. Tampak Kirana di belakang Mas Arda. Bersembunyi dengan muka canggung sambil memegangi erat celana Mas Arda. Bergegas aku menghampiri Kirana, lalu membawanya ke hadapan Mama. 

Wanita tua itu tiba-tiba menatapku lama dan dalam. Aku tersenyum, berusaha menyamarkan detak jantungku yang liar, lalu berjongkok, mendekatkan bocah cantik berumur lima tahunan itu sampai ke lutut Mama.

“Ini Kirana, Mah.”

Mama menelisik mataku, lalu ke arah Kirana, dan perlahan tangannya menjulur ke wajah Kirana dengan sedikit bergetar. Mengelus pipi Kirana seperti menyentuh permata langka yang mahal. Jantungku makin berdebar keras.

“Kirana, ini Nenek Lestari  Cium tangan Nenek, ya Sayang ....”

Dengan ragu-ragu Kirana mendekat, ketika aku mengangguk lembut, baru Kirana mengambil jemari Mama, dan menciumnya dengan hormat.

Tak kusangka, tiba-tiba Mama merengkuh Kirana, dan membenamkan kepala bocah kecil itu ke dalam dadanya yang kurus, lalu memejamkan matanya yang basah. 

“Nenek?” Kirana menjauhkan diri dengan wajah tak mengerti.

(bersambung)


Cikarang, 03 Juli 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU